Minggu, 31 Mei 2015

Imam Bukhari dan Shahihnya

KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur hanya miliki Allah SWT. Syukur akan segala nikmat yang tidak bertepi dan berharap tetap bersyukur hingga tidak berpenghujung. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Kekasih Allah, Rasulullah Saw., yang telah membawa cahaya Islam sehingga sekarang kita bisa menikmati cahaya yang telah dibawa Beliau, serta untuk para sahabat, keluarga dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Terima kasih untuk kedua orang tua yang senantiasa menyelipkan doa dan dukungannya, begitu pula teruntuk dosen pengampuh dalam mata kuliah Manhaj Muhadtsin Bpk. Dr. Muhajirin, MA yang telah memberikan bimbingannya. Tulisan ini memiliki tema tentang Imam Bukhari dan kitab Shahihnya ini merupakan salah satu tokoh ulama hadits pada masa mutaakhirin. Tulisan ini belumlah sempurna, untuk menyempurkannya penulis mengharapkan kritik dan saran yang kiranya dapat membangun sehingga untuk selanjutnya menjadi lebih baik. Penulis berharap tulisan ini bermanfaat bagi pembaca maupun yang membutuhkannya. Palembang, 4 Juni 2015 Penyusun DAFTAR ISI Kata Pengantar 1 Daftar Isi 2 BAB I Pendahuluan 3 A. Latar Belakang Masalah 3 B. Rumusan Masalah 3 BAB II Pembahasan 4 A. Riwayat Hidup Imam Bukhari 4 B. Metodologi dan Sistematika Penulisan 12 C. Pandangan Ulama terhadap Kitab Shahih Bukhari 22 BAB III Penutup 28 A. Kesimpulan 28 B. Saran 28 Daftar Isi 29 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Qur’an sebagai kalamullah, petunjuk umat Islam dan sumber tertinggi dalam menentukan suatu hukum. Meskipun demikian dalam memahami Al-Qur’an itu sendiri perlu dikaitkan dengan Al-Hadits. Misalnya saja perintah shalat dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan secara rinci tata caranya , sehingga perlunya hadits untuk melengkapi hal tersebut. Jika menoleh kesejarah pengumpulan hadits, kronologis kejadiannya cukup panjang. Melihat bahwasannya mengumpulkan hadits dengan cara hafalan tidak efektif, hal ini sejalana saat pengumpulan Al-Qur’an. Sehingga pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, ulama-ulama mulai mengumpulkan atau membukukan hadits dalam sebuah kitab. Di antaranya kitab yang terkenal pada masa itu ialah Al-Muwattha’ karya Imam Malik. Kitab al-Muwattha’ merupakan kitab yang isinya bukan hanya hadits Nabi Saw., juga terdapat fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Dalam kualitas hadits pun, kitab tersebut masih bercampur antara hadits shahih dan hadits dho’if. Hal itulah yang menjadi salah satu sebab munculnya ulama-ulama yang mengumpulkan hadits shahih saja dalam kitab. Tepatnya pada awal abad ke II. Salah satunya ulama yang mengumpulkan hadits-hadits shahih ialah Imam Bukhari dalam kitabnya, yang terkenal dengan sebutan Shahih Bukhari. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana riwayat hidup Imam Bukhari? 2. Bagaimana sistematika penulisan dalam Shahih Bukhari? 3. Bagaimana kritik ulama terhadap Shahih Bukhari? BAB II PEMBAHASAN A. Riwayat Hidup Imam Bukhari 1. Nama dan Tempat Lahir Nama lengkap Imam Bukhari adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah, ia merupakan seorang ulama hadits yang sangat masyhur yang dilahirkan di kota Bukhara setelah shalat jum’at tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Nama beliau sendiri ialah Muhammad dan oleh sebab mempunyai anak bernama Abdullah, lalu dipanggil pula nama Abu Abudullah yakni bapaknya Abdullah. Beliau ialah Ismail dan biasa dipanggil dengan nama Hasan, sebab mempunyai anak nama Al-Hasan. Ismail adalah putranya Ibrahim, putranya Bardizbah al-Ju’fi Balaula’. Tempat kelahiran beliau ialah di desa Bukhara yang kini masuk wilayah kekuasaan negara Soviet Uni yaitu pada tahun 194 H. Oleh sebab Bukhara adalah tempat kelahirannya, maka lebih terkenal dengan nama itu, yakni al-Bukhari yang makdunya ialah kelahiran Bukhara. Ia seorang ulama yang bermahzab Maliki dan murid Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fiqh . Nenek moyangnya bernama al-Mughhirah ibn Bardizbeh merupakan seorang Majusi yang menyatakan keislamaannya di hadapan walikota yang bernama al-Yaman ibn Ahnas al-Jufy. Memakai nama Persi yaitu Bardizbeh dan memeluk Islam masih beragama Zoroaster barulah kakekknya yang selanjutnya memakai nama “Mughierah”. Meskipun masa ke Islaman bagi keluarganya masih baru sekali, barulah dalam tiga kali keturunan, tetapi kekuatan beragama cukup terkenal dan sudah menduduki tempat terhormat di dalam ke Islamannya. Ayahnya bernama Isma’il adalah seorang ulama hadits yang dibimbing oleh sejumlah ulama termasyhur seperti Malik bin Annas, Hammad ibn Zayd dan Ibn Mubarak. Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya al-Bukhari dikenal sebagai orang yang wara’, dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang bersifat syubhat (ragu-ragu) hukumnya, terlebih hal yang haram. 2. Kecerdasan dan Keunggulannya Sejak umur kurang lebih 10 tahun, sudah mempunyai perhatian dalam ilmu-ilmu hadits, bahkan sesudah mempunyai hafalan hadits yang tidak sedikit jumlahnya. Pada usia 16 tahun Imam Bukhari telah berhasil menghafalkan beberapa buah buku tokoh ulama pertama yang prominen, seperti Ibnu Mubarak, Waki’ dan lain-lain. Pada suatu ketika beliau pergi ke Baghdad, para ulama hadits di Baghdad bersepakat menguji ulama muda yang mulai menanjak namanya. Mereka terdiri dari 10 orang yang masing-masing akan mengutarakan 10 hadits yang susunan sanad dan matanya telah ditukar-tukar kepada beliau. Imam Bukhari diudang pada suatu pertemuan umum yang dihadiri oleh muhadtsin dari dalam dan luar kota. Bahkan diundang pula ulama dari Khurasan. Satu demi satu dari 10 ulama ahli hadits mengemukakan hadits yang telah mereka persiapkan. Jawaban beliau terhadap setiap hadits yang dikemukakan mulai dari penanya pertama adalah “Saya tidak mengetahuinya”, Mereka merencanakan pengujian itu, mengambil kesan bahwa hafalan dan pengetahuan Imam Bukhari tentang hadits minim dan lemah serta jelek sekali. Setelah semua selesai membacanya, kemudian Imam al-Bukhari menerangkan dan membetulkannya dan kemudian mengembalikan sanad-sanad yang sudah diacak itu sesuai dengan matan awal. Para ulama yang hadir tercengang dan terpaksa harus mengakui kepandaian, ketelitian dan hafalannya dalam ilmu hadits. Melihat karya-karya tulisnya, Imam Bukhari sebenarnya bukan hanya sekedar tokoh ahli hadits seperti dikenal selama ini. Tetapi beliau juga dikenal sebagai sejarahwan (muarrikh), ahli fiqh dan lain sebagainya. Dan meskipun beliau menulis beberapa kitab hadits atau ilmu hadits, namun yang membawa namanya terkenal sampai hari kiamat nanti adalah kitabnya yang berjudul Al-Jami’ Al-Musnad Al-Shahih Al-Mukhtashar Min Umur Rasul Allah Shalla Allah ‘Alaihi Wa Sallam Wa Sunanihi Wa Ayyamihi yang lazim diseningkat dengan Al-Jami’ Al-Shahih dan popular dengan sebutan Shahih al-Bukhari. Sehingga barangkali dapat dikatakan bahwa tanpa Shahih Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail tidak akan menjadi Imam Bukhari seperti sekarang ini. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Imam Bukhari bukan hanya tokoh ahli hadits tetapi juga seorang ahli hukum fiqh dan sebagai mujtahid. Sebagai banyak fatwa-fatwanya yang masih dapat ditemui antara lain: 1. Bertemu dua khitan tanpa keluar air mani tidak diwajibkan mandi. Mani yang ada di kain, boleh di basuh juga boleh dikikis saja. 2. Bila hari raya jatuh pada hari jum’at maka orang yang sembahyang hari raya tidak perlu lagi melaksanakan shalat jum’at. 3. Keadaan sakit adalah di antara uzur yang membolehkan seseorang menjamak shalat. 4. Hadits-hadits dho’if tidak dapat dijadikan dalil, baik dalam masalah hukum, maupun dalam hal keutamaan amal. Selain dari itu pendapat Hasbi Ash-Shiddiqey, beliau juga dipandang seoreang mujtahid dan mempunyai mahzab sendiri. Sebagai dari pada pilihan ijitihad beliau, ialah: 1. Bertemu dua khatan tanpa injal (keluar mani), tiada mewajibkan mandi 2. Mani di kain boleh dibasuh, dan boleh dikikis saja. 3. Air yang dijatuhkan najis ke dalamnya, tiada najis jika tidak berubah 4. Orang yang berjunub boleh membaca Al-Qur’an 5. Kalau orang yang berjunub merasa takut memakai air dingin boleh bertayamun saja. 6. Paha bukan aurat 7. Orang yang bersembahyang dalam kapal boleh berputar kemana saja kapal itu berputar 8. Boleh bersembahayang dengan bersepatu 9. Bila hari raya jatuh pada hari jum’at, maka orang yang sudah beersembahyang hari raya tidak usah lagi bersembahyang jum’at pada hari itu 10. Orang yang sakit boleh mengumpulkan saja sembahyangnya: Dzuhur dengan Ashar dan Magrib dengan Isya’ 11. Boleh diumpat orang-orang yang dengan nyata membuat kejahatan dan kerusakan 12. Boleh diajarkan Al-Qur’an oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. 13. Orang-orang perempuan boleh melayani orang lelaki. 14. Orang-orang perempuan boleh mengunjungi orang-orang lelaki yang sakit. 15. Nabi Khidir tiada hidup lagi (telah wafat). 16. Hadits-hadits dho’if tidak boleh dijadikan hujjah, baik dalam urusan hukum maupun dalam urusan keutamaan amal saja oleh karena beliau tiada mau memperbudakan pikirannya pada orang-orang lain, beliau dibenci dan didengki bahkan kerap kali beliau difitnah dengan mengerjakan kejelekan dan lain sebagainya. Dalam bidang tafsir, ahli yang dapat julukan imam al-muhadtsin ini menulis kitab at-Tafsir al-Kabier dan dalam sejarah kitab at-Tarikh al-Kabier. 3. Pengembaraannya Ke Berbagai Negeri Untuk mencapai tujuan yang mulia Imam Bukhari melakukan pengembaraan beberapa negeri, seperti Adz-Dzahabi menyatakan bahwa pertama kali Bukhari memperoleh periwatan hadits dari luar negerinya sendiri pada tahun 215 H setalah mengadakan lawatan yang dimulai sejak tahun 210 H ke berbagai wilayah negeri, kemudian ia memulai pengembaraannya ke berbagai negeri untuk mendapatkan periwayatan hadits dari beberapa tokoh periwayat setempat yang dikunjunginya. Mereka adalah sebagai berikut: 1. Bukhara, negerinya sendiri, dari Muhammad ibn Salam Al-Baikandi, Abdullah ibn Muhammad Al-Musnadi, Muhammad ibn Arafah, Harun ibn Al-Asy’asy dan lain-lain. 2. Balka, dari Makki ibn Ibrahim, Yahya ibn Bsyar Az-Zahid, Qutaibah dan beberapa ulama lainnya. 3. Marwi, dari Ali ibn Syaqiq, Abdah, Mu’adz ibn Asad, Shadaqah ibn Al-Fadhl dan lainnya. 4. Naisabur, dari Yahya ibn Yahya,Basyar ibn Al-Hakim ibn Musa Al-Fadhl dan lainnya. 5. Al-Zay dari Ibrahim ibn Musa Al-Hafizh dan lain-lain. 6. Bagdad dari Muhammad ibn Isa ibn Ath-Thabba’, Syuraikh ibn An’Nu’man dan lainnya. 7. Bashrah, dari Abi AshimAn-Nabil, Badi ibn Muhbir, Muhammad ibn Abdullah Al-AnshariAbd Ar-Rahman ibn Muhammad ibn Hammad. Amr ibn Ashim Al-Kalabi, Abdullah ibn Raja’Al-Ghadani dan thabaqah lainnya. 8. Kufah, dari Ubaidillah ibn Musa, Abi Nu’aim, Thalaq ibn Ghanam, Hasan ibn Athiyah, Khalad ibn Yahya, Khalid ibn Mukhlad Farwah ibn Abi Al-Maghrah’, Qubaishah dan ulama lainnya yang setingkat.. 9. Madinah, dari Abdul Al-Aziz Al-Uwaisy ibn Abdulla, Abi Tsabit Muhammad ibn Abdillah dan jama’ah. 10. Makkah, dari Abu abdurrahman Al-Muqri Al-Humaidi Ahmad iBn Muhammad dan Al-Azraqi. 11. Wasith, dari Amr ibn Muhammad ibn Aun dan lainnya. 12. Mesir, Sa’di ibn Abi Maryam, Abdullah ibn Shalih Al-Khatib, Sa’id ibn Talid, Amr ibn Ar-Rabi’ ibn Tahriq dan ulama yang setingkat lainnya. 13. Damaskus, dari Abi Mashr, Abi An-Nadhar Al-Faradisi dan jama’ah 14. Qaisariyah, dari Muhammad ibn YusufAl-Firyabi. 15. Asqalan, dari Adam ibn Abi Iyas. 16. Hams, dari Abi Al-Mughirah, Abi Al-Yamin, Ali ibn Iyasy, Ahmad ibn Khalid Al-Wahabih, Yahya Al-Wahadzi. Selanjutnya al-Dzahabi yang dikutip al-Qasthalani menyatakan bahwa Bukhari menyampaikan periwayatan hadits kepada rawi yang lain yang ada dalam lintasan perjalanannya, di antaranya: 1. Yang pertama kali adalah Abu Zur’ah dan Abu Hatim 2. Ashab Al-Sunnan: Al-Turmudzi, al-Nasa’i dan Imam Muslim 3. Ulama (perawi) lain: Muhammad ibn Nashr al-Maruzi al-Faqih, Shalih ibn Muhammad Jazzah al-Hafiszh, Abu Bakar ibn Ashim, Mathin, Abu al-Abbas al-Siraj, Abu Bakar ibn Abi Sa’id, Ibrahim ibn Ma’qal al-Nasfi, Muhaib ibn Sulaim, Sahal ibn Syadzawi, Muhammad ibn Yusuf Al-Farbari, Muhammad ibn Ahmad ibn Dalubah, Abdullah ibn Muhammad al-Asyqar, Muhammad ibn Harun al-Hadramin, al-Husainibn Ismail al-Mahamili, Abu Ali al-Hasanibn Muhammad al-Dariki, Ahmad ibn Hamdan al-A’masy, Abu Bakar ibn Abi Dawud, Muhammad ibn Mahmud ibn Anbar al-Nasafi, Ja’far ibn Muhammad ibn al-Hasan al-Jazari, Abu Hamid ibn al-Syaraqi dan saudaranya yaitu Abu Muhammad Abdullah, al-Ghiyani, Muhammad ibn Harun al-Rawyani. 4. Dan orang yang terakhir mengambil riwayat dari imam Bukhari secara ‘ali adalah Imam al-Khatib. 5. Guru-gurunya Pengembaraannya ke berbagai negeri telah mempertemukan Imam Bukhari dengan guru-gurunya yang berbobot dan dapat dipercaya yang mencapai jumlah yang banyak. Di antara guru-gurunya dalam memperoleh hadits dalam ilmu hadits, antara lain: 1. Ali bin Al-Madini 2. Ahmad bin Hanbal 3. Yahya bin Ma’in, 4. Muhammad bin Yusuf al-Faryabi 5. Maki ibn Ibrahim al-Bakhi 6. Muhammad Yusuf al-Baykandi. Menurut Fatchur Rahman dalam bukunya Ikhtisar Mushthalahul Hadits, bahwa Imam Bukhari memperoleh hadits dari beberapa hafidz, antara lain: 1. Maki bin Ibrahim 2. ‘Abdullah bin ‘Usman Al-Marwazy, 3. ‘Abdullah bin Musa Al-Abbasy, 4. Abu ‘Ashim As-Syaibany dan 5. Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdullah Al-Anshary 6. Murid-Muridnya Tidak dapat dihitung dengan pasti berapa jumlah orang yang meriwayatkan hadits dari Imam Bukhari, sehingga ada yang berpendapat bahwa kitab Shahih Bukhari didengar secara langsung dari dia oleh sembilan puluh ribu orang Muqadimah Fathul Bari, Di antara sekian banyak muridnya yang paling menonjol antara lain: 1. Muslim bin al-Hajjaj 2. Tirmidzi 3. An-Nasa’i, 4. Ibn Khuzaimah, 5. Ibn Abu Dawud, 6. Muhammad bin Yusuf Al-Firabri 7. Ibrahim bin Ma’qil al-Nasafi 8. Hamda bin Syakir al-Nasawi 9. Mansur bin Muhammad al-Bazdawi. Empat orang yang terakhir ini merupakan yang paling masyhur sebagai perawi kitab Shahih Bukhari. Karya-Karya Imam Al-Bukhari 1. Qadlayash Shahaba wat tabi’ien 2. Al-Tarikhul Kabier 3. Al-Tarikhul Autsath 4. Al-Tarikhul Shaghier 5. al-Al-Dabur Mufrod 6. al-Qira’ah Khalfaliman 7. al-Jamiul Kabier 8. al-Musnadul Kabier 9. al-Tafsirul Kabier dan 10. al-Jami’ush Shahih Selain dari itu, ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam bab Shahihnya. Banyak pula ahli hadits yang berguru kepadanya, seperti Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad ibn Nasr dan Imam Muslim. Setelah ia mendapat banyak hadits dan mendalaminya di negeri-negeri yang dikunjunginya itu, ia kembali ke kota tempat kelahiranya Bukhara. Belum lama ia berada di negeri ini, imam yang terkenal pemalu, pemberani dan dermanwan ini diminta Gubernur daerah itu, Khalid bin Ahmad, untuk mengajar anak-anaknya di rumahnya. Tapi imam Bukhari menjawab bahwa ia bersedia mengabulkannya dengan syarat anak-anak gubernur itulah yang harus datang belajar kerumahnya. Rupanya mendengar jawabannya itu gubernur tersinggung dan dengan berang ia mengusir imam ahli hadits yang terkenal hidup sederhana ini dan terpaksa pindah ke suatu kampung yang tidak jauh dari kota Samarkand. Di sana ia berdomisili sampai wafatnya pada malam Idul Fitri 256 H dalam usia 62 tahun. 7. Sejarah dan Latar Belakang Penulisan kitab Shahihnya. Meski sudah termasuk luar biasa dalam bidang hadits, tampaknya Imam Bukhari tidak begitu saja membukukan hadits hadits-hadits nabawi. Beberapa faktor yang mendorong untuk menulis kitab itu menunjukkan bahwa penulisannya tidak berangkat dari kemauannya semata sendiri. Karenanya wajar apabila keikhlasan beliau itu menjadikan kitabnya sebagai rujukan yang paling otentik sesudah Al-Qur’an. Faktor-faktor tersebut adalah: Pertama: Pada akhir masa tabi’in di mana para ulama sudah menyebar ke berbagai penjuru negeri Islam, hadits-hadits Nabi mulai dibukukan. Tersebutlah orang-orang yang melakukan hal ini antara lain: al-Rabi’ bin Shabih (w. 160 H), Said bin Abu Arubah (w. 156 H) dan lain-lain. Metode penulisan mereka terbatas pada bab-bab yang menyangkut masalah tertentu saja. Kemudian datang ulama periode berikutnya di mana mereka menulis hadits lebih lengkap daripada cara penulisan sebelumnya. Mereka menulis hadits-hadits yang menyangkut masalah-masalah hukum secara luas. Tersebutlah nama-nama seperti Imam Malik bin Annas yang menulis kitab Al-Muwattha’, di Madinah, Ibnu Juraij di Mekkah, dan Al-Auza’i di Bashrah. Hanya saja tulisan-tulisan mereka masih bercampur dengan fatwa-fatwa sahabat, tabi’in dan tab’it tabi’in. Pada awal abad II para ulama bermaksud menulis hadits secara tersendiri tanpa dicampuri fatwa sahabat, tabi’in. Maka tersebutlah penulis-penulis hadits seperti Ubaidullah al-Kufi, Musaddad al-Bashri, Asad al-Umawi dan Nu’aim al-Khuza’i. Metode penulisannya berbentuk “Musnad” di mana disebutkan dahulu nama sahabat kemudian hadits-hadits yang diriwayatkan dari padanya. Metode ini di ikuti oleh tokoh-tokoh sesudahnya seperti Imam Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, Utsman bin Abu Syaibah, dan lain-lain. Ada pula yang menggabungkan antara metode bab-bab dan metode musnad seperti yang dilakukan Abu Bakar bin Abu Syaibah. Namun dadits-hadits yang mereka tulis masih campur aduk antara hadits-hadits shahih, hasan, dan dha’if. Dari sinilah Imam Bukhari punya inisiatif untuk mengumpulkan hadits-hadits yang shahih saja sehingga tidak membingungkan orang. Ternyata Ishaq bin Rahawaih, salah seorang guru Imam Bukhari, mendorong maksud itu. Imam Bukhari menuturkan, “Ketika saya berada di kediaman Ishab bin Rahawayu, beliau menyarankan agar saya menulis kitab yang singkat yang hanya memuat hadits-hadits shahih saja. Saran beliau itu sangat mendorong saya hingga saya menulis kitab al-Jami’ al-Shahih. Kedua: Dorongan moral yang seperti beliau tuturkan sendiri sebagai berikut: “Saya bermimpi bertemu Nabi Muhammad Saw., saya berdiri di hadapan Nabi seraya mengipasinya. Setelah itu saya menemui ahli ta’bir mimpi untuk menanyakan arti mimpi saya itu. Jawabnya, “Anda akan membersihkan pembohong-pembohongan yang dilontarkan kepada Rasulullah”. Itulah yang mendorong saya untuk menulis al-Jami’ al-Shahih. B. Metodologi dan Sistematika Penulisan Kitab Shahih Bukhari Hasil karyanya yang terkenal adalah “Jami’ Shahih”’ sebutan ini merupakan sebutan yang langsung berasal dari Imam Bukhari sendiri. Jami’ artinya mengumpulkan atau menghimpun, sedangkan al-Shahih artinya yang benar atau yang absah. Jadi al-Jami’ al-Shahih menurut istilah adalah suatu kitab yang menghimpun sejumlah hadits shahih yang meliputi ‘aqaid, ahkam, riqab, adab al-aqli wa sir dan munakib wa mustalib. Dalam Muqaddimah Fathul Bahri, Ibnu Hajar mengatakan bahwa kitab al-Jami’ al-Shahih memiliki banyak faedah dan manfaat. Dalam kitab tersebut Imam Bukhari telah mengumpulkan antara hadits riwayah dan hadits dirayah. Judul kitab tersebut secara lengkap menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H) ialah ا لجا مع ا لصحيح ا لمسند من حد يث سو ل ا لله صلي ا لله عليه وسلم وسننه وا يا مه Menurut Abu ‘Amr Ibnus-Shalah (w.643 H), judul lengkap kitab hadits himpunan al-Bukhari itu ialah: ا لجا مع ا لمسند ا ل صحيح ا لمختصر من ا مو ر ر ر سو ل ا ا لله صلى ا لله عليه و سلم و سننه و ا يا مه Di masyarakat judul yang lebih terkenal ialah: ا لجا مع ا ل صحيح للبخا ر ى atau صحيح ا لبخا ر ى Secara rinci seluruh hadits yang terkandung dalam kitab Shahih Bukhari adalah: Hadits Marfu’, mausul yang diulang 7397 hadits Hadits Marfu’ mu’allaq yang diulang 1341 hadits Hadits Mutabi’ yang berbeda riwayatnya 334 hadits Jumlah 9082 hadits Hadits marfu’ maushul tanpa diulang 2602 hadits Hadits marfu’ muallaq tanpa diulang 159 hadits Jumlah 2761 hadits Dalam kitab Shahih Bukhari banyak ditemui hadits mu’allaq yaitu hadits yang isnadnya tidak tidak disebutkan seseorang rawi atau lebih. Namun hadits mu’allaq yang terdapat dalam Shahih Bukhari tersebut oleh para ulama dihukumi sebagai hadits yang shahih. Hal ini di dasarkan pada beberapa alasan, yaitu: 1. Setelah diadakan penelitian dari asal sanadnya sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Hajar, ternayata semua sanadnya tersebut bersambung baik yang berupa hadits marfu’ maupun mawquf. 2. Dengan mengamati hadits-hadits yang sama pada tempat lain, baik dalam kitab tersebut maupun diluar kitab Jami’ Shahih. Dalam megumpulkan hadits Al-Bukhari mendengarkannya lebih dari 1.000 orang guru. Beliau hafal sebanyak 100.000 buah hadits shahih dan 200.000 buah hadits yang tidak shahih. Di antaranya yang shahih dimasukkan ke dalam kitab shahihnya dan beliaulah pertama kali yang menghimpun hadits shahih ke dalam sebuah buku yang diberi nama Al-Jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhari. Buku ini ditulis selama 16 tahun yang beliau dengar dari 70.000 perawi melalui penelitian yang tekun dan berhati-hati kemudian diajukan ke hadapan para para gurunya di antaranya Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, Ali Al-Madini dan lain-lain. Mereka menilai keshahihannya. Setiap akan menulis hadits beliau mandi dan shalat istikharah 2 rakaat terlebih dahulu dan tidak menulisnya, kecuali hadits yang shahih, sanad yang muttashil dan para perawi yang memenuhi syarat keadilan dan ke-dhabit-an. Buku hadits ini menurut sebagian ulama berisikan 7.397 buah hadits shahih, memasukkan hadits yang berulang-ulang atau 2.067 buah hadits shahih tanpa berulang-ulang. Sebagaimana dijelaskan Ibnu Shalah dan Imam Nawawi, dalam kitab Shahih Bukhari terdapat 7275 hadits dengan pengulangan dan bila tanpa pengulangan jumlah hadits dalam Shahih Bukhari berjumlah 4000 hadits, jumlah tersebut dikoleksi oleh Bukhari dari 600.000 hadits yang diterimanya dari 70.000 guru. Koleksi hadits ini ditulis oleh Imam Bukhari selama 16 tahun yang terdiri dari 100 kitab dan 3450 bab. Kitab kumpulan hadits Bukhari dikerjakan pada abad pertama dan awal abad kedua hijriyah. Keaslian hadits yang terdapat di dalamnya terjaga oleh sejumlah kriteria tokoh-tokoh yang terpercaya yang menjadi sandaran periwayatannya, yakni berdasarkan isnad yang terpercaya. Metode periwayatan hadits ini didasarkan pada anggapan bahwa tokoh-tokoh yang sangat tinggi ketakwaannya kepada Allah dan mereka saling bertemu antara satu dengan yang lainnya. Jika terdapat seorang tokoh isnad yang diragukan lantaran landasan tertentu, meskipun keraguan tersebut relatif kecil, maka keaslian hadits tersebut diragukan dan ia menjadi hadits yang lemah, sebaliknya jika terdapat sejumlah jalur periwayatan dan penuturan yang terpercaya, sekalipun terhadap hadits ahad, maka hadits tersebut dipandang kuat. Berikut ini kami sajikan kitab-kitab (judul-judul) yang terkandung dalam Ṣhaḥiḥ al-Bukhārī. 1. Kitab Permulaan Wahyu 2. Kitab Iman 3. Kitab Ilmu 4. Kitab Wudhu 5. Kitab Mandi 6. Kitab Haid 7. Kitab Tayyamun 8. Kitab Shalat 9. Kitab Waktu-Waktu Shalat 10. Kitab Adzan 11. Kitab Al-Jumu’ah 12. Kitab Shalat Khauf 13. Kitab Shalat Idul Fitri dan Idul Adha 14. Kitab Kumpulan Shalat Witir 15. Kitab Istisqa’ (Minta Hujan) 16. Kitab Shalat Gerhana 17. Kitab Sujud Tilawah Dan Sunahnya 18. Kitab Shalat Qashar 19. Kitab Shalat Tahajud dan Kitab Shalat Tathawwu’ (Sunah) 20. Kitab Keutamaan Shalat di Masjid Makkah dan Madinah 21. Kitab Kumpulan Gerakan Shalat 22. Kitab Sujud Sahwi 23. Kitab Janaiz 24. Kitab Zakat 25. Kitab Haji 26. Kitab Kumpulan Umrah 27. Kitab Kumpulan Orang Yang Terkepung dan Berburu 28. Kitab Balasan Berburu Ketika Berhaji 29. Kitab Keutamaan Madinah 30. Kitab Puasa 31. Kitab Shalat Tarawih 32. Kitab Keutamaan Lialatul Qadar 33. Kitab I’tikaf 34. Kitab Jual Beli 35. Kitab Salam (Pemesanan Barang) 36. Kitab Syuf’ah 37. Kitab Ijarah (Sewa Menyewa Jasa atau Barang) 38. Kitab Hawalah (Pamindahan Hutang) 39. Kitab Kafalah (Jaminan) 40. Kitab Wakalah (Perwakilan) 41. Kitab Pertanian dan Muzara’ah 42. Kitab Musaqah 43. Kitab Peminjaman, Pembayaran Hutang, Pencengkalan dan kepailitan 44. Kitab Persengketaan 45. Kitab Luqathah (Barang Temuan) 46. Kitab Mazalim 47. Kitab Syarikat 48. Kitab Akad Penggadaian di Daerah Pemukiman 49. Kitab Memerdekakan Budak 50. Kitab Mukatab 51. Kitab Hibah 52. Kitab Kesaksian 53. Kitab Mediasi 54. Kitab Persyaratan 55. Kitab Wasiat 56. Kitab Jihad dan As-Sair (Perjalanan Perang) 57. Kitab Hukum Bagian Seperlima 58. Kitab Pajak 59. Kitab Awal Penciptaan 60. Kitab Hadits-Hadits Tentang Para Nabi 61. Kitab Manaqib 62. Kitab Keutamaan Sahabat Nabi 63. Kitab Manqib Anshar 64. Kitab Perang 65. Kitab Tafsir Al-Qur’an 66. Kitab Keutamaan Al-Qur’an 67. Kitab Nikah 68. Kitab Talak 69. Kitab Nafkah 70. Kitab Makanan 71. Kitab Akikah 72. Kitab Sembelihan dan Hewan Buruan 73. Kitab Kurban 74. Kitab Minuman 75. Kitab Orang-Orang Sakit 76. Kitab TIB 77. Kitab Pakaian 78. Kitab Adab 79. Kitab Meminta Izin 80. Kitab Doa 81. Kitab Hal-Hal Yang Melembutpkan Hati 82. Kitab Takdir 83. Kitab Sumpah dan Nadzar 84. Kitab Kafarat Sumpah 85. Kitab Faraidh 86. Kitab Hudud 87. Kitab Diyat 88. Kitab Menyuruh Bertaubat atau memerangi Orang Murtad dan Pelaku Maksiat 89. Kitab Pemaksaan 90. Kitab Berdalih 91. Kitab Ta’wil Mimpi 92. Kitab Fitnah 93. Kitab Hukum 94. Kitab Harapan 95. Kitab Hadits Ahad 96. Kitab Berpegang Teguh Pada Al-Qur’an dan As-Sunah 97. Kitab Tauhid. 1. Sistem Imam Bukhari dalam Menghimpun as-Shahih Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya. Imam Bukhari telah menempuh suatu cara tertentu yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggung jawabkan. Beliau telah berusaha dengan sungguh untuk meneliti keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti keshahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya. Segala daya dan kemampuan insani dicurahkannya untuk usaha tersebut. Beliau senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan yang lain, menyaring dan memilih hadits mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya itu merupakan batu uji dan alat penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari penegasannya: “Aku susun kitab Al-Jami’ ini dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun.” Selain menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah dalam penghimpun kitab shahihnya, juga Bukhari tidak mengabaikan aspek-aspek rohani dalam penelitiannya. 2. Syarat-Syarat Hadits Shahih Menurut Imam Bukhari Di antara ketetapan yang disepakati oleh para ulama ahli hadits ialah bahwa syarat-syarat hadits shahih sebagai berikut: a. Perawi hadits haruslah seorang Muslim, berakal, jujur, tidak mudallis dan tidak mukhtalif, memiliki sifat adil, tidak berat sebelah, kuat ingatannya, dan selalu memelihara akan apa yang diriwayatkannya, selamat berpikir dan pancaindra yang digunakan untuk mendengar dan menghapal, sedikit melakukan kesalahan dan beritikad baik. b. Sanadnya harus bersambung-sambung sehingga hadits mursal, munqothi’ dan mu’dal tidak dikategorikan ke dalam hadits shahih. c. Matan hadits tidak janggal (syazz) dan tidak illat (mu’allal). Apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi pada sautu hadits, maka hadits disebut shahih, sah untuk dihubungkan atau dinisbahkan kepada Nabi. Keabsahan penisbatan kepada Nabi. Keabsahan penisbahan ini adalah kuat (rajih), bahkan dari ulama hadits yang menekuni bidang ini, hampir mencapai batas yang menyakinkan. Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita, bahwa syarat-syarat yang dipergunakan oleh ulama ahli hadits dalam menetapkan keshahihan hadits tersebut dapat menimbulkan rasa percaya bahwa hadis bersangkutan (bahwa hadits memang berasal dari Nabi) dan rasa tenang, juga segi kebenarannya lebih kuat daripada segi kebohongan atau keluputannya. Perlu ditegaskan di sini bahwa Imam Bukhari tidak mengemukakan syarat-syarat tertentu yang dipergunakan untuk menetapkan keshahihan hadits secara rinci dan jelas. Namun persyaratan itu dapat diketahui melalui penelititan dan pengajian terhadap kitabya. Kesimpulan yang diperoleh para ulama, setelah mengadakan penelitian secara cermat terhadap kitabnya, menyatakan bahwa Imam Bukhari dalam kitab shahihnya selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan yang paling tinggi dan tidak turun dari peringkat tersebut kecuali dalam beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab seperti hadits mutabi’ dan hadits syahid atau hadits-hadits yang diriwayatkan dari sahabat dan tabi’in. Dalam Shahih Bukhari terdapat beberapa hal yang unik, antara lain sebagai berikut: 1. Ada bab yang memuat banyak hadits, seperti misalnya Bab: Perang Badar, yang berisi 40 hadits. 2. Ada Bab yang hanya berisi 1 atau 2 hadits, seperti Bab: Nihak diwaktu Ihram; berisi 1 hadits. 3. Ada Bab yang hanya berisi ayat Al-Qur’an, tanpa hadits sebuahpun. Seperti Bab yang berisi ayat 25 daru surah An-Nisa. 4. Ada Bab yang kosong tanpa isi apapun, seperti Bab Jawaiz al-Wafd (=hadits untuk utusan/ delegasi). Dan barangkali ini adalah Bab yang paling pendek; selain tanpa isi juga judul Bab tersebut adalah pendek. 5. Adapula nama Bab yang kurang ada pertaliannya dengan isi, seperti Bab Li’an (saling menuduh zina antara suami isteri) yang memuat hadits-hadits tentang: a. Seorang bisu menuduh, secara tertulis, kepada isterinya berbuat zina. b. Rumah sahabat Anshor yang paling baik. c. Umur bulan-bulan Qomariah itu berturut-turut 30 hari, 29 hari, 30 hari dan seterusnya. d. Saya (Nabi) dan penanggung anak yatim akan berada di Surga. 3. Pengulangan Hadits, Pemenggalan atau Meringkasnya Imam Bukhari dalam kitab shahihnya seringkali mengulang-ulang beberapa hadits, memenggalnya atau meringkasnya dalam bab-bab yang berbeda, sesuai dengan hukum yang disimpulkan dari hadits tersebut atau sesuai dengan tuntutan judul bab. Hal ini ia lakukan semata-mata karena ada manfaat tertentu yang kembali kepada sanad hadits dan matannya. Sedikit sekali ia menyembutkan sebuah hadits dengan satu macam sanad dan satu macam lafazh dalam dua tempat yang berlainan. Di antara yang ingin dicapai dengan mengulang-ulang hadits adalah memperbanyak tariqah (sanad, jalan yang menyampaikan) hadits atau untuk mengingatkan adanya perbedaan redaksi atau adanya sebagian perawi yang meriwayatkan sebuah hadits dengan cara mu’an’an . Padahal dalam riwayat lain ia menggunakan kata sami’tu sebagai ganti ‘an. Untuk keperluan itulah, antara lain Bukhari mengulang beberapa hadits dan masih banyak lagi manfaat atau kepentingan lain dari pengulangan tersebut yang dapat dilihat secara jelas oleh mereka yang mengkaji kitab shahih tersebut secara menyeluruh dan cermat. 4. Kitab-Kitab Syarah Shahih Bukhari Di antara perkerjaan-perkerjaan ulama Ahlusunnah adalah penulisan syarah atas kitab-kitab hadits awal, baik dari Enam Kitab Shahih maupun al-Muaththa’-nya Malik bin Anas. Dalam hal ini, banyak syarah yang ditulis, khususnya pada periode mutakhir kabanyakan darinya masih ada hingga masa kini. Kitab al-Muathttha’ dan Shahih Bukhari adalah kitab yang paling banyak mendapatkan syarah. Di dalam kitab Kasyf Azh-Zhunun disebutkan mencapai 82 kitab syarah dan yang paling menonjol adalah Ibnu Hajar Al-Asqalani yang diberi nama fath Al-Bari, syarah Al-Qathalani yang diberi nama Irsyad As-Sari, Syarah Al-Aini yang diberi nama ‘Umdah Al-Qari. Banyak tulisan Al-Bukhari selain Al-Shahih, di antaranya tiga kitab At-Tarikh, yaitu Al-Kabir, Al-Awsath dan Al-Shaghar, kitab Al-Kuna, kitab Wuhdan dan kitab Al-Adab Al-Mufrad. Kitab ini juga mendapatkan berbagai macam syarah, di antaranya: 1. I’lam al-Talwih fi Syarhi Shahih Al-Bukhari, karya Abu Sulaiman Ahmad bin Muhammad Khatnai (w. 388 H). 2. Al-Kawakib al-Darari, karya Syamsuddin Muhammad bin Yusuf Kirmani (w. 786 H). 3. Al-Talwih, karya Alauddin Mughalthai Hanafi (w. 792 H). 4. Fath al-bari fi Syarhi Shahih Bukhari, karya Zainuddin Abil Faraj bin Syahabuddin Baghdadi, dikenal dengan julukan Ibnu Rajab Hanballi (w. 795 H). 5. Al-Lami’ al-Shabih, karya Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abduddaim (w.831 H) 6. Fath al-Bari fi Syarhi Shahih Bukhari, karya Ibnu Hajar Asqalani (w. 852 H). Menurut pendapat Haji Khalifah, syarah ini merupakan syarah terbesar. Kitab ini memiliki mukadimah yang sangat panjang dan muhim dalam hal sejarah dan ulumul hadits yang diberi nama Huda al-Sari. 7. Umdat al-Qari fi Syarhi Shahih al-Bukhari, karya Badruddin Abi Muhammad Mahmud bin Ahmad al-Aini (w. 855) 8. Al-Tausyih fi Syarh al-Jami’ al-Shahih, karya Jalaludin Suyuthi (w. 911 H) 9. Irsyad al-Sari fi Syarh al-Shahih al-Bukhari, karya Ahmad bin Muhammad Syafi’i al-Qasthalani. (w. 923 H). 10. Lami’ al-Darari ‘ala Jami’ al-Bukhari, karya Faqih Muhaddin Kankuhi, abad ke-13 H. Di samping ulama yang mensyarah dan mengulas kitab tersebut adapula yang meringkasnya menjadi mukhtasar seperti kitab at-Tajrib as-Shahih yang disusun oleh Husain ibnu al-Mubarak. Buku lain yang disebut shahih samping Bukhari, ada beberapa buku yang disebut shahihseperti: 1.shahihdariIbnuKhaizaima 2.ShahihIbnHibban 3.ShahihIbnas-Sakan(d.353) 4. Shahih abu-Sharqi, seorang mahasiswa dari Imam Muslim meninggal pada 325 AH Tapi yang paling terkenal setelah Bukhari adalah Shahih Imam Muslim yang pantas beberapa studi rinci. C. Pandangan Ulama Mengenai Kitab Shahih Bukhari Jumhur Ulama’ telah sepakat bahwa kitab Shahih Bukhari merupakan kitab yang paling shahih setelah Al-Qur’an dan merupakan kitab pokok yang pertama dari kitab hadits. Imam Syafi’i telah berkata: ما عل و جه ا لا ر ض كتا ب بعد كتا ب ا لله ا صح من كتا ب ما لك. “ Tidak ada usatu kitab di muka bumi ini, setelah kitab Al-Qur’an yang lebih shahih daripada kitab Imam Malik (Al-Muaththa’)” Ucapan tersebut diucapkan oleh Imam Asy-Syafi’i tatkala Imam Bukhari belum menulis kitab Shahinya. Setelah Imam Bukhari menulis kitab Jami’ush Shahihnya, maka Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa kitab shahih Bukhari adalah yang paling tinggi nilainya. Para orientalis seperti Ignaz Goldziher (1850-1921) Arent Jan Wensink (1882-1939), Joseph Schat (1902-1969) dan lain-lain berpendapat bahwa dalam meneliti hadits, para ahli hadits hanya menggunakan metode kritik sanad saja tanpa memakai metode kritik matan. Sehingga, menurut mereka, banyak ditemukan di belakangan hari hadits-hadits yang semula dianggap shahih ternyata palsu, termasuk hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari hadits. Hadits-hadits shahih al-Bukhari ternyata tidak luput dari krtik berbagai pihak baik dahulu maupun sekarang. Kritikan juga ditunjukkan kepada sanad dan matan hadits, seperti dapat dilihat dalam keterangan berikut: Kritik Hadits Bukhari Tempo Dulu Perlu diketahui lebih dahulu bahwa sebagaian besar hadits-hadits Bukhari diakui sebagai hadits shahih oleh ahli-ahli hadits. Namun juga diakui bahwa sejumlah kecil hadits-hadits Bukhari dab begitu pula hadits-hadits Muslim, dikritik oleh sejumlah ahli-ahli hadits masa lalu seperti al-Darqutni (w. 385 H), Abu Ali al-Ghassani (w. 365 H) dan lain-lain. Mereka menganggap hadits itu dho’if. Menurut Imam Nawawi, kritikan mereka itu berangkat dari tuduhan bahwa dalam hadits-hadits tersebut Imam Bukhari tidak menepati persyaratan-persyaratan yang ia tetapkan. Untuk maksud ini al-Daruqutni menulis buku berjudul al-Istidrakat wa al-Tatabbu’ di mana ia mengkritik 200 buah hadits yang terdapat dalam shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Imam Nawawi menegaskan bahwa kritikan al-Daruqutni dan lain-lain itu hanyalah berdasarkan kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh sejumlah ahli hadits yang justru dinilai lemah sekali, ditinjau dari ilmu hadits karena berlawanan dengan kriteria yang ditetapkan oleh Jumhur Ulama. Karenanya, demikian lanjut Nawawi, anda jangan sekali-sekali terpedaya oleh kritik-kritikan itu. Dalam mengkritik Bukhari al-Daraqutni menyuruti sanad dalam arti deretan rawi-rawi hadits sedangkan ahli hadits yang lain menyuruti pribadi-pribadi rawi. Kritik Sanad Al-Daruqutni berkata: “Imam Bukhari (dan Imam Muslim menulis hadits al-Zubaidi, dari al-Zuhri dari Urwah dari Zainab binti Abu Salamah, bahwa Nabi Muhammad Saw, melihat seoerang wanita di rumah Ummu Salamah, wajah wanita itu emar. Lalu Nabi bersabda :”Obatilah wanita itu dengan mantra-mantra (ruqyah). Kata al-Daruqutni selanjutnya, hadits ini oleh ‘Uqail diriwayatkan dari al-Zuhri dari Urwah secara mursal. Begitu pula Yahya bin Said meriwayatkan dari Sulaiman bin Yasar dari ‘Urwah secara mursal. Jelaslah bahwa al-Daruqutni menilai hadits tersebut dho’if, sebab hadits mursal itu putus sanadnya. Di mana ‘Uqail tidak menyebutkan Zainab dan Umi Salamah, tetapi langsung menyebutkan Nabi. Sanad Hadits ini selengkapnya seperti dalam Shahih Bukhari, sebagai berikut: Riwayat Bukhari: Mohammad bin Khalid-Mohammad bin Wahb- Mohammad bin Harb al-Zubaidi-al-Zuhri-‘Urwah-Zainab binti Abu Salamah- Ummu Salamah-Nabi. Riwayat lain: 1. Ibn Wahb-Ibn Lahi’ah- “uqail-al-Zuhri-‘Urwah-Nabi. Di sini ‘Urwah meriwayatkan hadits langsung dari Nabi dengan menggugurkan dua rawi yaitu Zainab binti Abu Salamah dan Ummu Salamah 2. Abu Mua’wiyah-Yahya bin Yazid-Sulaiman bin Yasar. Di sini yang digugurkan hanya Zainab binti Abu Salamah. Dan riwayat ini ditulis oleh Imam al-Bazzar. Dari perbandingan riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa yang gugur sanadnya bukan dalam riwayat Bukhari tapi yang lainnya. Dapat dikatakan pula riwayat Bukhari tergolong shahih. Sedangkan untuk sanad yang dicantumkan “’Uqail- al-Zuhri- Urwah – Nabi” atau semisal dengan itu dalam shahih al-Bukhari, hal itu dimaksdukan sebagai pembuktian (istisyaad) bahwa hadits yang diriwayatkan itu diriwayatkan pula oleh penulis hadits lain dengan sanad yang lain pula. Periwayatan semacam ini dalam ilmu hadits dikenal sebagai hadits syahid aatau hadits mutabi’. Kritik Pribadi Rawi Sejumlah ahli hadits menyoroti beberapa nama rawi yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari. Menurut mereka, rawi-rawi itu tidak memenuhi persyaratan sebagai rawi yang diterima haditsnya. Menyanggah tuduhan itu Ibn Hajar menegaskan bahwa hal itu tidak dapat diterima kecuali apabila rawi itu terbukti dengan jelas mempunyai sifat-sifat dan melakukan hal-hal yang dapat menyebabkan haditsnya ditolak. Dan ternyata setalah diteliti dengan cermat, tidak ada satu rawi pun dalam Shahih al-Bukhari yang mempunyai sifat-sifat atau melakukan perbuatan seperti itu. Contoh rawi yang dikritisi dalam Shahih Bukhari adalah Usamah bin Hafsh al-Madani, menurut al-Azdi, Usamah lemah haditsnya dan menurut Abu al-Qasim al-Lalkai, Usamah tidak dikenal identitasny. Dalam Shahih al-Bukhari ada satu hadits yang diriwayatkan dari Usamah yaitu dalam kitab al-Zabaih. Ibnu Hajar pernah membaca dalam buku Mizan al-I’tidal yang ditulis oleh pengarangnya sendiri yaitu Imam al-al-Dzahabi bahwa Usamah dikenal identitasnya. Imam-imam hadits yang empat juga meriwayatkan hadits dari Usamah. Jelaslah di sini bahwa tuduhan tidak dikenal identitasnya (jahalah atau Majdul al-aHal) hanya berdasarkan kriteria majhul sejumlah tokoh hadits yang justru kurang memperoleh pengakuan ilmiyah dibanding misalnya dengan al-Dzahabi. Karena itu penilaian al-Dzahabi tentang Usamah lebih diunggulkan daripada penilaian al-Lalkai. Apalagi bila ditambahkan bahwa Imam yang empat juga meriwayatkan haditsnya. Dari contoh-contoh di atas, terlihat kritikan yang dilakukan terhadap hadits-hadits dalam Shahih Bukhari, baik pada sanad maupun matan. Tidak akan mengurangi keotetikan hadits-hadits dalam kitab Shahih al-Bukhari, sebab kritikan dilakukan dengan landasan kaidah yang tidak kuat. Selain itu, kritikan yang dilakukan bukan pada hadits yang beresifat pokok melainkan hadits-hadits mutabi’. Kritik Hadits Bukhari Masa Kini Meskipun ahli-ahli hadits masa lalu sudah melakukan kritik hadits baik sanad maupun matannya, namun kalangan orientalis menuduh bahwa para ahli hadits dahulu hanya mengkritik hadits dari segi sanad atau rawinya saja. Sebab banyak hadits termasuk dalam Shahih al-Bukhari yang dikemudian hari tidak shahih (otentik) ditinjau dari segi sosial, politik, sains dan lain-lain. Karenanya mereka tidak mengakui hasil penelitihan ahli-ahli hadits masa lalu. Mereka membuat teori sendiri yang dikenal dengan kritik materi hadits. Tersebutlah nama-nama untuk kelompok ini antara lain, Ignaz Goldziher, A.J. Wensink, Robson, Maurice Bucaille dan lain-lain. Sedang dari kalangan Islam terdengar nama Ahmad Amin dan belakangan Syekh Muhammad Al-Ghazali. Di sini penulis mengambil contoh kritikan dari salah satu tokoh yang telah disebutkan di atas, misalnya kritikan dari Ahmad Amin. Dalam bukunya Fajr al-Islam, Ahmad Amin tidak kepalang tanggung ikut mengkritik ahli-ahli hadits setelah mereka dituduh hanya memperhatikan kritik sanad, kini giliran Imam Bukhari dihantam secara tersendiri. Kata Amin: “Kita lihat sendiri sampai dengan Imam Bukhari meskipun tinggi reputasi ilmiahnya dan cermat penelitiannya, beliau menetapkan hadits-hadits yang tidak shahih ditinjau dari segi perkembangan zaman dan penemuan ilmiah, karena penelitian beliau hanya terbatas pada kritik sanad saja.” Amin menyebutkan contoh hadits di mana Rasulullah bersabda: “100 tahun lagi tidak ada orang yang masih hidup di muka bumi ini,” Dalam hadits pertama ternyata Ahmad Amin keliru dalam memahami maksudnya, sebab yang dimaksud oleh hadits itu bukan sesudah 100 tahun sejak Nabi mengucapkan hal itu tidak akan ada lagi orang yang masih hidup di dunia melainkan yang dimaksud adalah orang-orang yang pada saat Nabi Saw., mengucapkan kata-kata itu masih hidup 100 tahun lagi mereka sudah meninggal dunia semua. Dan hal itu memang terbukti demikian. Oleh sebab itu, hadits itu termasuk mukjizat Nabi SAW. 5. Kelebihan dan Kekurangan Shahih Bukhari Kitab Shahih Bukhari adalah kitab hadis yang paling shahih, pendapat ini disetujui oleh mayoritas ulama’hadits. Meskipun termasuk kitab hadits yang paling shahih, kitab ini tidak luput dari kekurangan. Tapi kelemahan ini bisa ditutupi oleh kelebihannya. Dibawah ini akan dikemukakan kelebihan dsan kekurangan dari kitab Shahih Bukhari. Banyak Sekali kelebihan dari kitab Shahih Bukhari, diantaranya: a. Terdapat pengambilan hukum fiqih b. Perawinya lebih terpecaya c. Memuat beberapa hikmah. d. Banyak memberikan faedah,manfaat dan pengetahuan e. Hadis-hadis dalam Shahih Bukhori terjamin keshahihannya karena Imam Bukhari mensyaratkan perowi haruslah sejaman dan mendengar langsung dari rawi yang diambil hadis darinya. Kelemahan Shahih Bukhari, antara lain: a. Kitab Shahih Bukhari memuat hadits Aisyah mengenai kasus tersihirnya Nabi yang dilakukan oleh Labib bin A’syam. Menerima hadits tentang tersihirnya Nabi jelas membahayakan prinsip kemaksuman Nabi. Selain itu, dengan menerima hadits tersebut berarti kita ikut membenarkan tuduhan orang-orang kafir bahwa beliau adalah seorang Nabi yang terkena pengaruh sihir, padahal tuduhan tersebut telah disanggah oleh Allah SWT. b. Bercampur baur dengan hadits-hadits palsu kaki tangan Dinasti Umayyah Abbasiyah c. Tidak melakukan kritik historis d. Tidak melakukan kritik matan e. Melakukan tadlis f. Adapun kekurangan yang lain dari kitab Shahih Bukhari yaitu bahwa kitab Shahih Bukhari tidak memuat semua hadits shahih sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Bukhari. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan pada bab sebelumnya, di sini penyusun menyimpulkan bahwa Bukhari merupaka nama yang dikenal selama ini, ternyata diambil dari nama daerahnya. Mengenai metode penyusunannya ialah dengan mengumpulkan hadits-hadits shahih menurut persyaratanya. Dalam kitab Shahih Bukhari disusun per kitab. Meskipun kitab Shahih Bukhari merupakan kumpulan dari hadits-hadits shahih, masih ada ulama yang mengatakan tidak semua hadits yang di Shahih Bukhari tergolong shahih, terlihat pada bab sebelumnya Shahih Bukhari dikritik oleh tokoh-tokoh krtikus hadits. B. Saran Kami menyadari bahwa makalah yang kami sajikan belumlah sempurna, masih memiliki kekurangan. Baik dari kesalahan kata, kalimat yang kurang dimengerti dan lain sebagainya. Maka dari itu dengan tangan terbuka kami menerima kritik dan saran untuk kedepannya lebih baik lagi. DAFTAR PUSTAKA Anwar, Moh. Ilmu Musthalah Hadits. 1981. Surabaya: Al-Ikhlas Azami, M.M. Studies in Haditsh Methodology and Literature. 1977. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust) Ma’arif, Majid. Sejarah Hadits. 2012. Al-Huda Ahmad, Zainal Abidin. Imam Bukhari Pemuncak Ilmu Hadits. 1975. Jakarta: Bulan Bintang. Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Ensiklopedia Hadits1-2 ‘Shahih Al-Bukhari 1-2. terj. Subhan Andullah, dkk. 2012. Jakarta: Almahira. Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadits. 2013. Jakarta: Amzah Classe, Cyril. Ensiklopedi Islam. penerjemah, Ghufron A. Mas’adi, 2002. Jakarta: Raja Grafindo Persada Suyitno. Studi Ilmu-Ilmu Hadits. 2013. Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta. Ismail, Syuhudi, Cara Praktis Mencari Hadits. 1991. Jakarta: Bulan Bintang Yaqub, Ali Mustafa. Imam Bukhari dan Metodologi Kritik Dalam Ilmu Hadits. 1991. Jakarta: Pustaka Firdaus Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadits, 1988, (Jakarta: Bulan Bintang), Syuhbah, Muhammad Muhammad Abu. Kitab Hadits Shahih Yang Enam. 1994. Jakarta: Litera AntarNusa. Rahman, Factur. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. 1974. Bandung: Al-ma’arif Khaeruman, Badri. Otentitas Hadits. 2004. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Khaeruman, Badri. Ulum Hadits. 2010. Bandung: Pustaka Setia Nasution, Harun, dkk. Ensiklopedi Islam Indonesia. 1992.Jakarta: Djambatan Ash-Shiddieqy, Hasbi. Pokok-pokok ilmu dirayah Hadits. 1976. Jakarta: Bulan Bintang Suparta, Munzier Ilmu Hadits. 2013. Jakarta: PT Grafindo Persada Solahudin, Agus dan Agus Suyadi. Ulumul Hadits. 2013. Bandung: CV Pustaka Setia al-Bukhari, Al-Imam. Shahih Bukhari. 1981. Surabaya: Tokoh Kitab “Al-Asriyah”. Syuhbah, Muhammad Muhammad Abu. Kitab Hadits Shahih Yang Enam. 1994. Jakarta: Litera AntarNusa http://pandidikan.blogspot.com/2010/05/riwayat-imam-bukhori.html. Diunduh pada 28/05/15 09:00 https://syiahali.wordpress.com/2012/01/17/kelemahan-kitab-shahih-bukhari-dan-shahih-muslim/ diunduh pada 28/05/15 09:19

Surah Al-Maidah ayat 100 (Komparatif tafsir Al-Misbah dan Al-Azhar)

PENDAHULUAN Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw., melalui malaikat jibril. Al-Qur’an meajadi pedoman bagi manusia yang mengimaninya dan juga menjadi peta kehidupan yang mengantarkan manusia menuju jalan yang lurus. Al-Qur’an mengandung kebenaran dan tidak ada kebatilan di dalamnya. teman yang paling baik, penenang hati, penghilang gundah dan penyirna gulana, penawar kesedihan,pencerah pikiran, penghilang keraguan dan rasa was-was, penguat keyakinan dan pengokoh keimanan. Dasar dari semua fungsi yang telah dipaparkan di atas, ialah Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk, seperti pada QS. Al-Baqarah ayat 2           Artinya: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” Pada ayat tersebut ditegaskan bahwa Al-Qur’an menjadi petunjuk untuk mereka yang bertaqwa. Kata mereka itu timbul sebuah pertanyaan siapa? Bagaimanakah orang yang tergolong taqwa dan arti taqwa itu tersendiri dalam Al-Qur’an. Dari pertanyaan yang timbul itulah, penulis berkeinginan untuk mengkaji satu ayat yang juga mengandung lafazh taqwa di dalamnya ialah pada surah Al-Maidah ayat 100. Pada kajian ini akan dikaji dengan menggunakan metode muqarin. Metode muqarin adalah metode yang mengemukakan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh sejumlah penafsir. Di sini seorang penafsir menghimpun jumlah ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian ia mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah penafsir mengenai ayat tersebut melalui kitab-kitab tafsir mereka, apakah tafsir mereka itu tafsir bi al-ma’tsurmaupun al-tafsir bi al-Ra’yi. Seorang peneliti juga membandingkan arah dan kecenderuangan masing-masing penafsir. Selanjutnya peneliti juga akan menjelaskan bahwa di antara para penafsir tersebut ada yang mempengaruhi penafsirannya. PEMBAHASAN PERBANDINGAN DALAM TAFSIR AL-AZHAR DAN AL-MISBAH PADA SURAH AL-MAIDAH AYAT 100 A. Biografi Singkat Prof. Hamka Hamka lahir di Sungai Batang Meninjau, Sumatra Barat pada tanggal 16 Februari 1908 M. Riwayat pendidikan pada usia 6 tahun di sekolah desa selama 3 tahun, pada tahun 1916-1927, diniyah school Padang Panjang. Gurunya Prof. Hamka ialah Syekh Ibrahim, Musa Parabel, Engko Mudu Abdul Hamid Hakim, Sultan Marajo, Syekh Zaiduddin Labay el-Yunung. Karya terbesar Hamka adalah Tafsir Al-Azhar juz 1-30, ditulis saat dipenjara kurang lebih selama 3,5 tahun. Metode tafsir Al-Azhar ialah penafsirannya Hamka memelihara sebaik mungkin antara Naql dan akal. Corak penafsiran Hamka dalam tafsir Al-Azhar menurut Nasaruddin Baidasi dalam buku perkembangan Tafsir di Indonesia, corak tafsirnya adalah corak al-adabi wa al-ijtimima’i (sosial kemasyarakatan). B. Biografi Singkat M. Quraish Shihab M. Quraish Shihab dilahirkan pada 16 Februari di kabupaten si dendeng Rampang, Sulawesi Selatan sekitar 190 Km dari kota Ujung Pandang. M. Quraish Shihab memulai pendidikan di Kampunghalamannya di Ujung Pandang, dan melanjutkan pendidikanmenengahnya di Malang tepatnya di Pondok Pesantren Dar al- Hadistal-Fiqhiyyah. Kemudian pada tahun 1958, dia berangkatke Kairo Mesir untuk meneruskan pendidikannya di al-Azhar danditerima di kelas II Tsanawiyyah. Selanjutnya pada Tahun 1967dia meraih gelar Lc. (S1) pada Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir Hadist Universitas Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkanpendidikanya di fakultas yang sama, sehingga tahun 1969 ia meraih gelar MA untuk spesialis Tafsir Alquran dengan judul al-I’jāz al-Tasyri’ li al-Qur’ān al-Karīm. Pada tahun 1980, M. Quraish Shihab. M. Quraish Shihab merupakan muffasir kotemporer yang produktif dalam menulis, sehingga ia memiliki karya-karya yang fantastis. Salah satu karyanya ialah Tafsir Al-Misbah. Jika kita cermati dengan seksama, tampak bahwa metode penafsiran M. Quraish Shihab menggunakan pendekatan al-ijtihad al-Hida’i. C. Kajian Tentang Taqwa Dalam Al-Qur’an kata taqwa terdapat 224 ayat dengan berbagai bentuk yang berbeda-beda tergantung konteks ayat yang ada, akan tetapi inti dari semua ayat itu bermuara pada beberapa pengertian, yaitu taqwa adalah orang yang beriman, taqwa adalah takut dan taqwa adalah beramal soleh. Ketiga pengertian tersebut terdapat dalam surat 2: 182, 3:15-16, 3: 133-134, 2: 224, 2:21, 2:282, 4:9, 2:187, 39: 24, 2:24, 26:16, 13:34, 3:28, 2:180. Diketahui bahwasannya taqwa di dalam Al-Qur’an banyak memiliki definisi dan ciri-cirinya Akan tetapi taqwa dalam QS. Al-Maidah ayat 100 mempunyai definisi tersendiri ialah taqwa dalam artian taat, patuh atau tunduk. Taat di sini ialah taat akan perintah dan larangan dari Allah, untuk mengetahui hal demikian bisa dilihat dari teks dan terjemahan dari QS. Al-Maidah dari ayat 99 sampai 101. Selain dari itu dapat juga disorot dari sebab turunnya ayat, misalnya sebab turunnya QS. Al-Maidah ayat 100-101. Surah Al-Maidah meruapakan salah satu surah yang turun ketika Rasulullah telah melakukan Hijrah. Diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan al-Baihaqi yang bersumber dari Ibnu Abbas.           •       Artinya: “ Katakanlah: "tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika Rasulullah Saw., menerangkan haramnya arak, berdirilah seorang Badwi dan berkata: “Saya pernah menjadi pedagang arak dan saya menjadi kaya-raya karenanya. Apakah kekayaanku ini bermanfaat apabila saya menggunakannya untuk taat kepada Allah?”. Nabi menjawab: “Sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali yang baik”. Maka turunlah ayat ini yang membenarkan ucapan Rasul-Nya. Diriwayatkan oleh al-Wahidi dan al-Ashbahani di dalam kitab at-Targhib yang bersumber dari Jabir.                •            Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” Diriwayatkan oleh Bukhari yang bersumber dari Annas bin Malik. Dalam riwayat ini dikemukakan bahwa orang-orang yang bertanya kepada Rasulullah Saw., dengan maksud memperolok-olokannya, ada yang bertanya: “Siapa bapak saya?”, dan ada pula yang bertanya:”Dimana ontoku yang hilang?”. Maka Allah menurunkan ayat ini, yang melarang orang mukmin bertanya hal yang bukan-bukan. Selain dari riwayat ini masih ada dua riwayat lainnya. Seperti, Diriwayatkan oleh Bukhari dari ibnu Abbas dan diriwayatakan oleh ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Abu Hurairah, Abu Umamah dan Ibnu Abbas. D. Perbandingan dalam Tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah pada surah Al-Maidah ayat 100 s          •       Artinya: “Katakanlah: "tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." Dalam kitab Tafsir Al-Misbah, ayat ini dapat dihubungkan denga ayat yang lalu dengan mengamati pesan yang lalu dan ayat ini. Ayat yang lalu mengandung pesan bahwa Rasul hanya menyampaikan, sedang menerima atau menolak terpulang kepada masing-masing. Kepada mereka diingatkan dalam hidup ini ada yang baik dan ada yang buruk. Ada tuntunan Allah, ada tuntunan setan dan rayuan nafsu. Jangan sampai kuantitas yang banyak dari keburukkan memperdaya kamu sehingga memilihnya dan meninggalkan yang baik yang kuantitasnya sedkit. Jangan juga menduga bahwa apa yang telah ditetapkan kadarnya oleh Allah dan RasulNya walau sedikit, jangan duga yang demikian itu akan lebih baik jika kalian menambahnya karena penambahan ketika itu telah menjadikannya buruk. Sedikit garam akan melezatkan makanan, sedang garam yang banyak merusak makanan bahkan membahayakan tubuh manusia. Sedangkan Prof. Hamka dalam tafsir Al-Azharnya mengatakan bahwa ayat ini untuk memperteguh lagi keterangan pada lafazd sebelumnya. Kalau Allah menyiksa sangatlah pedih siksaanNya. Yang disiksa adalah orang yang memilih jalan yang buruk dan kelakuan yang buruk, tetapi Allah pun Pengampun dan Penyayang yaitu pada orang-orang yang berjuang mengalahkan diri dari yang buruk dan memilih yang baik. Akal terdidik oleh petunjuk agama dapatlah membedakan buruk dan baik. Akal dapat menilai mana yang banyak mengandung malarat dan mafaat, mana yang haram dan mana yang halal, mana yang adil dan mana yang zalim, mana yang kebodohan dan mana ilmu pengetahuan, mana yang merusak dan mana yang memperbaiki dan mana yang talih dan mana yang shalih. Menurut pengamat peneliti dalam melihat penafsiran yang dilakukan oleh Hamka dan Quraish Shihab, tidak ada perbedaan yang signifikan menurut pandangan kedua mufasir di atas. Misalnya persamaan ada dalam hal mampu pesan yang tersirat pada ayat tersebut, untuk tidak terpedaya oleh hal yang buruk. Akan tetapi dalam hal meunasabahkan ayat kedua mufassir itu berbeda di mana Quraish Shihab hanya menghubungkan surah Al-Maidah ayat 100 dengan ayat 99. Sedangkan Hamka menghubungan ayat tersebut pada ayat 98. Tentu perbedaan ini memiliki dasar masing-masing dan dipengaruhi oleh corak dan metode masing-masing. PENUTUP Kesimpulan Dari pembahasan sebelumnya mengenai taqwa pada surah Al-Maidah ayat 100. Lafadz taqwa banyak ditemui dalam Al-Qur’an. Pengertian taqwa itu sendiri seperti yang telah dipaparkan sebelumnya ialah takut, beramal sholeh dan lain-lain, tetapi pada ayat ini jika disorot pada teks, terjemahan maupun sebab turunnya ayat tersebut, penulis berpendapat bahwa kata taqwa pada ayat ini bermakna taat. Taat akan perintah Allah dan RasulNya, yang juga dilandasi dengan pemikiran (akal). Untuk perbandingan di antara Quraish Shihab dan Hamka tidak memiliki perbedaan yang banyak, jika penulis melihat perbedaan terletak pada pemunasabahan ayat saja, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Misalnya metode dan corak penafsiran keduanya. Saran Penulis menyadari bahwa tulisan ini belumlah sempurna ataupun seperti apa yang diingnkan oleh Dosen Pengampuh. Sehingga penulis sendiri mohon maaf dan mohon kritik dan sarannya.

Sabtu, 30 Mei 2015

Qira'at Syadzdzah

KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur hanya miliki Allah SWT. Syukur akan segala nikmat yang tidak bertepi dan berharap tetap bersyukur hingga tidak berpenghujung. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Kekasih Allah, Rasulullah Saw., yang telah membawa cahaya Islam sehingga sekarang kita bisa menikmati cahaya yang telah dibawa Beliau, serta untuk para sahabat, keluarga dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Terima kasih untuk kedua orang tua yang senantiasa menyelipkan doa dan dukungannya, begitu pula teruntuk dosen pengampuh dalam mata kuliah Ilmu Qira’at Al-Qur’an Ibu Sri Aliyah M.Pd.I yang telah memberikan bimbingannya. Tulisan ini memiliki tema tentang Qira’at Syadzdzah. Qira’at tersebut termasuk dalam lingkup macam-macam qira’at. Ilmu Qira’at Al-Qur’an juga merupakan ilmu yang terdapat dalam ulumul Al-Qur’an. Tulisan ini belumlah sempurna, untuk menyempurkannya penulis mengharapkan kritik dan saran yang kiranya dapat membangun sehingga untuk selanjutnya menjadi lebih baik. Penulis berharap tulisan ini bermanfaat bagi pembaca maupun yang membutuhkannya. Palembang, 21 April 2015 Desy Aryani DAFTAR ISI Kata Pengantar 1 Daftar Isi ..2 BAB I PENDAHULUAN 3 A. Latar Belakang 3 B. Rumusan Masalah 4 BAB II PEMBAHASAN 5 A. Pengertian Qira’at Syadzdzah 5 B. Macam-Macam Qira’at Syadzdzah 8 C. Sebab-Sebab Kesyadzdzahan 9 D. Contoh Qira’at Syadzdzah 12 BAB III PENUTUP 20 A. Kesimpulan 20 B. Saran 21 Daftar Pustaka 22 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses kodifikasi Al-Qur'an pada masa khalifah Utsman berada pada titik kritis kemanusiaan sesama muslim karena terjadi saling menyalahkan antara aliran qira'at yang satu dengan aliran qira'at lainnya, bahkan di antara mereka hampir saling mengkafirkan. Daerah kekuasaan Islam pada khalifah Utsman telah meluas, orang-orang Islam telah terpencar di berbagai daerah sehingga mengakibatkan kurang lancarnya komunikasi intelektual di antara mereka. Menurut Ash-Shobuni bahwa Penduduk Syam membaca Al-Qur'an mengikuti qira'at Ubay bin Ka'ab, penduduk Kufah mengikuti qira'at Abdullah bin Mas'ud dan sebagian yang lain mengikuti qira'at Abu Musa al-Asy'ari. Di antara mereka terdapat perbedaan bunyi huruf dan bacaan. Karena kurang lancarnya komunikasi di antara para ahli qira’at, yang semula tujuan bervariasinya qira’at Al-Qur'an sebagai bentuk rahmat (kemudahan dan kelonggaran) bagi umat Islam, tapi justru menjadi semacam bencana kemanusiaan. Karena terjadi kerenggangan hubungan di antara mereka. Berkenaan dengan keadaan di atas, maka pada pertengahan kedua di abad I H, dan pertengahan awal di abad II H, para ahli qira'at terdorong untuk meneliti dan menyeleksi berbagai sistem qira'at Al-Qur'an yang berkembang pada saat itu. Misalnya, tujuh sistem qira'at Al-Qur'an yang berhasil dipopulerkan dan dilestarikan oleh mereka, dinilai sebagai tergolong mutawatir yang bersumber dari Nabi saw. Inilah yang dikenal dengan sebutan qlra'at sab'at(qira'attujuh). Qira’at tujuh adalah qira’at yang dihukum mutawatir karena periwayatannya sampai kepada Nabi saw. Akan tetapi tidak semua qira’at itu bersambung periwayatan dengan Nabi Saw., dan tidak semua qira’at dapat diterima untuk dijadikan hujjah dalam hukum ataupun digunakan di kehidupan sehari-hari. Diterimanya suatu qira’at itu mempunyai kriteria-kriteria yang harus terpenuhi. Oleh karena itu apabila salah satu atau semua kriteria tidak terpenuhi, qira’at tersebut tidak dapat diterima. Di sinilah penulis akan membahas sekitar pembahasan mengenai qira’at yang tidak diterima. Salah satunya adalah qira’at syadzdzah, yang akan dibahas pada bab selanjutnya. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana definisi dari qira’at syadzdzah? 2. Bagaimana sebab-sebab kesyadzdzahannya? 3. Contoh dari qira’at syadzdzah? BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Qira’at Syadzdzah Qira’at adalah jamak dari qira’ah, artinya bacaan. Ia adalah mashdar dari qara’ah. Dalam istilah keilmuan, qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan Al-Qur’an yang dipakai oleh seorang imam qurra’. Sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya. Qira’at merupakan masdar dari kata qara’a yang berarti membaca. Maka qira’ah secara harfiah berarti bacaan dan ilmu qira’at berarti ilmu tentang bacaan. Menurut istilah, seperti dua pendapat di bawah ini: 1. Menurut Az-Zarqani, ialah suatu madzhab yang dianut seorang imam qira’at yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun dalam pengucapan bentuk-bentuknya. 2. Menurut Imam Az-Zarkasyi, qira’at yaitu perbedaan lafal-lafal Al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif, tasydid dan lain-lain. Sedangkan kata شا ذ menurut kamus bahasa Arab artinya yang terasing. Kata شا ذ ataupun شذ و ذ adalah kata mashdar berasal dari fi'il madii شذ شذ- يشذ – شذ و ذ و شا ذ ا Dalam pemakaian bahasa Arab, kata syadzdzah artinya memisahkan diri, menyendiri atau jarang sekali. Seseorang dikatakan telah melakukan syadz, apabila ia menyendiri atau memisahkan diri dari kawan-kawannya. Jadi setiap sesuatu yang menyendiri disebut syadzdzah. Qira’at syadzdzah menurut istilah adalah setiap qira’at yang tidak memiliki rukun yang tiga yaitu mutawatir, sesuai dengan rasm mushaf Utsmani dan sesuai dengan kaidah tata bahasa Arab atau kurang salah satu dari padanya. Selain dari itu qira’at syadzdzah yaitu qira’at yang menyimpang karena sanadnya tidak shahih. Dari definisi yang telah dipaparkan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa qira’at syadzdzah ialah suatu bacaan yang berbeda dengan bacaan yang lain, dikarenakan tidak memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan. Misalnya bacaan tersebut tidak sesuai dengan mushaf Utsmani, tidak mutawatir, dan lain-lain. Orang yang pertama sekali menyelidiki macam-macam qira’at, menuliskan hasil penyelidikannya itu dan menyelidiki qira’at yang syadz serta membahas sanadnya adalah Harun bin Musa Abu Abdullah Al-A’war Al-Atki Al-Bashri Al-Azadi. Dan beliau yang bernama Shaduuq mempunyai qira’at yang dikenal dinisbahkan kepadanya, diriwayatkan dari ‘Ashim Al-Jahdari, Abdullah bin Katsir dan Abu ‘Amr bin Al-‘Allaa’ dan lain-lain. Harun bin Musa wafat pada tahun 198 H. Imam As-Suyuthy Pengarang kitab Al-Itqon menyebutkan macam-macam qira’at itu ada yang muttawatir, mashyur, syadz, ahad, maudhu’ dan mudarraj. Qadhi’ Jalaluddin Al-Bulqiiny mengatakan: Qira’at itu terbagi ke dalam: muttawatir, ahad dan syadz. Yang mutatawatir adalah qira’at tujuh yang mashyur. Yang ahad adalah qira’at yang tsalasa (tiga yang menjadi pelengkap qira’ah sepuluh (qira’ah ‘asyrah), yang kesemuanya dipersamakan dengan qira’at para sahabat. Adapun qira’at yang syadz ialah qira’ah para tabi’in seperti qira’ah A’masy, Yahya ibnu Watsab, Ibnu Jubair dan lain-lain. Imam As-Suyuthy mengatakan bahwa kata-kata di atas perlu ditinjau kembali. Yang pantas untuk berbicara dalam bidang qira’at adalah qurra’ pada masanya yang bernama Syaikh Abu Al-Khair ibnu Al-Jazary dimana beliau mengatakan dalam muqaddimah kitabnya An-Nasyr: “semua qira’at yang sesuai dengan bacaan Arab walau hanya satu segi saja sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani walaupun hanya sekedar mendekati serta sanadnya benar maka qira’at tersebut adalah shahih (benar), yang tidak ditolak dan haram menentangnya, bahkan itu termasuk dalam bagian “huruf yang tujuh” dimana Al-Qur’an diturunkan. Wajib bagi semua orang untuk menerimanya baik timbul dari imam yang tujuh maupun dari yang sepuluh atau lainnya yang bisa diterima. Apabila salah satu persyaratan yang tiga tersebut di atas tidak terpenuhi maka qira’at itu dikatakan qira’at syadz atau bathil, baik datangnya dari imam yang tujuh maupun dari tokoh yang lebih ternama lagi. Inilah pendapat yang benar menurut para muhaqqiq baik dari kalangan salaf maupun khalaf. Abu ‘Amr bin Abdil Bar meriwayatkan bahwa kaum muslimin telah ijma’ bahwa tidak boleh membaca Al-Qur’an dengan qira’at syadzdzah dan tidak sah shalat mengikuti seorang imam yang menggunakan qira’at syadzdzah dalam shalatnya. Adapun hukum qiraah syadzdzah: 1. Haram dipakai dan tidak sah shalat yang menggunakan qira’at ini, karena ia bukan termasuk bagian dari bacaan Al-Qur’an. Seperti qira’at Ibnu As-Sufa’ ifi: Falyawma nunajjika bibadanuka litakunaliman kholafaka ayah. Dengan menfathakan huruf lam pada kata kholafaka. Qira’at ini tidak dijadikan pegangan dalam bacaan dan bukan termasuk Al-Qur’an. 2. Sebagian besar fuqaha, termasuk Imam Syafi’i, berpendapat tidak boleh berhujjah dengan qira’at syadzdzah, karena ia tidak termasuk model bacaan Al-Qur’an. Tapi menurut mahzab Hanafi dibolehkan berhujjah dengan qira’at ini dalam masalah hukum, karena qira’at syadzdzah termasuk bagian dari tafsir. 3. Berhujjah dalam masalah bahasa dibolehkan dengan menggunakan qira’at ini. Nawawi, Di dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab menjelaskan bahwa qira’at syadzdzah (aneh) tidak boleh dibaca di dalam dan di luar shalat, karena qira’at itu bukan Al-Qur’an, Al-Qur’an hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedangkan qira’at yang menyimpang tidak sesuai dengan isnad yang mutawatir. Bila ada yang menyalahi ketentuan dan membaca qira’at yang menyimpang di dalam shalat atau lainnya, maka qira’at itu tidak dapat dibenarkan. Para ulama Fiqh di Baghdad menuntut supaya si pembaca qira’at yang menyimpang supaya bertobat Orang yang membaca Al-Qur’an dengan qira’at yang menyimpang tidak boleh mengimami shalat. B. Macam-Macam Qira’at Syadzdah Bila melihat dari pengertian qira’at syadzdah di atas, maka qira’at-qira’at yang tidak memenuhi syarat sahnya suatu qira’at dapat dibagi menjadi empat bagian: 1. Qira’at Ahad, yaitu qira’at yang sanadnya shahih namun menyalahi rasm Utsmani dan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Contoh, qira’at Ibnu Muhaisin salah satu imam qira’at dari empat imam qira’at lainnya, qira’at yang dimaksud adalah surah Ar-Rahman ayat 76:        Qira’at macam ini tidak boleh dinyatakan dan wajib di I’tiqadkan sebagai Al-Qur’an. 2. Qira’at Syadz, adalah bacaan atau qira’at yang sanadnya tidak shahih, Qira’at ini juga tidak boleh dinyatakan dan tidak wajib di’ Itoqadkan sebagai Al-Qur’an. 3. Qira’at maudhu’ adalah bacaan yang tidak ada sumbernya sama sekali atau qira’at palsu. Dalam uraian ini kata palsu dikaitkan dengan kata qira’at karena ada yang mengatakan qira’at. 4. Qira’at mudrajah adalah bacaan atau qira’at yang dalam bacaan itu diselipkan tafsiran dari ayat yang bersangkutan seperti qira’at Sa’ad bin Abi Waqash dengan menambah kata مِنْ مُسْلِمْ pada ayat 12 surat An-Nisa’. C. Sebab-Sebab Kesyadzdzahan Suatu Qira’at Setiap ada akibat tentunya ada sebab yang mempengaruhinya. Begitulah dengan qira’at syadz ini. Suatu qira’at dapat digolongkan qira’at yang syadz, apabila tidak memenuhi beberapa kriteria. Seperti berikut ini: 1. Kesesuaian qira’at tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi, baik segi fasih sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan pada ra’yu (penalaran). 2. Qira’at sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani, meskipun hanya sekedar mendekati saja. Sebab dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara penulisan mushaf) sesuai dengan macam-macam dialek qira’at yang mereka ketahui. Misalnya, mereka menuliskan ا لصر ا ط dalam ayat ا هد نا ا لصر ا ط ا لمستقين dengan sad sebagai pengganti dari sin. Mereka tidak menuliskan sin yang merupakan asal ini agar lafadz teersebut dapat pula dibaca dengan sin yakni ا لسر اط . Meskipun demikian dalam satu segi berbeda dengan rasm, namun qira’at yang sin pun tersebut yang dikenal, sehingga kedua bacaan itu dianggap sebanding. Dan bacaan isymam untuk itu pun dikemungkinkan pula. Yang dengan sesuai yang hanya sekedar mendekati saja (muwafaqah ihtimaliyah), adalah, seperti contoh di atas. 3. Qira’at itu harus shahih sanadnya, sebab qira’at merupakan sunnah yang diikuti yang didasarkan pada keselamatan penukilan dan keshahihan riwayat. Sering kali ahli bahasa Arab mengingkari sesuatu qira’at hanya karena qira’at itu tidak sejalan dengan aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qira’at tidak menanggung beban apapun atas keingkaran mereka itu. Ibnul Jazari ketika memberikan komentar terhadap syarat pertama kaidah qira’at yang shahih ini menegaskan, “Kata-kata dalam kaidah di atas meskipun hanya dalam satu segi, yang kami maksudkan adalah satu segi dari ilmu nahwu, baik segi itu fasih maupun lebih fasih, disepakati maupun diperselisihkan. Sedikit berlawanan dengan kaidah nahwu tidak mengurangi keshahihan suatu qira’at jika qira’at tersebut telah popular dan telah diterima oleh para imam berdasarkan isnad yang shahih, sebab syarat terakhir inilah yang menjadi syarat terpenting dan utama. Berapa banyak qira’at yang diingkari oleh ahli nahwu, tetapi mereka tidak banyak mendapatkan respon, seperti mensukunkan (با ر كم ) dan (يا مر كم ) mengkhafadhkan (ا لا ر حا م ), menashabkan ( ليجز ي قو ما ), dan memisahkan antara mudhaf dengan mudhaf ilaih, seperti dalam ayat, (قتل ا و لا د هم شر كا ءهم) dan sebagainya. Abu Amru Ad-Dani berkata, “Para imam qira’at tidak mengubah sedikit pun huruf-huruf Al-Qur’an menurut aturan yang paling popular dalam dunia kebahasaan yang paling sesuai dengan kaidah bahasa Arab, tetapi menurut yang paling tegas dan shahih dalam riwayat dan penukilan. Karena itu bila riwayat itu jelas dan pasti, maka aturan kebahasaan dan popularitas bahasa tidak bisa menolak dan mengingkarinya. Sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti dan wajib diterima seutuhnya serta dijadikan sumber acuan. “Menurut Zaid bin Tsabit, “Qira’at adalah sunnah yang harus diikuti”. Menurut Al-Baihaqi, maksud perkataan tersebut ialah mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal qira’at Al-Qur’an, sebab itu merupakan sunnah atau tradisi yang harus diikuti, tidak boleh menyalahi mushaf yang merupakan imam, tidak pula menayalahi qira’at yang mashyur meskipun tidak berlaku dalam bahasa Arab. Ibnu Al-Jazari Pengarang kitab Ath-Thayyibah dalam memberikan batas diterimanya qira’ah mengatakan: Setiap bacaan yang sesuai dengan nahwu Mirip dengan tulisan mushaf Utsmani Benar sanadnya itulah bacaan Ketiga sendi ini Bila rusak salah satunya Menyatakan itu cacat Meski dari qira’at sab’ah datangnya. Jika diperhatikan ketiga rukun qira’at shahih tersebut, maka dapat diketahui bahwa qira’at syadzdzah baru mulai muncul pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, seperti yang telah dipaparkan pada bab pendahuluan. Ketika Al-Qur’an telah dikondifikasi dan adanya perintah untuk membakar semua tulisan Al-Qur’an yang dibentuk Utsman bin Affan. Peristiwa ini yang membedakan dan menentukan antara qira’at yang shahih dan qira’at yang syadzdzah. Oleh sebab itu, persesuaian antara suatu qira’at dengan rasm Utsmani merupakan salah satu syarat shahihnya qira’at tersebut. Dr. Muhammad Salim Muhaisin berpendapat bahwa batas yang membedakan dan menentukan antara qira’at shahih dan sqira’at syadzdzah adalah pemeriksaan Jibril yang terakhir terhadap qira’at Al-Qur’an Nabi Muhammad Saw., pada tahun wafatnya Beliau. Demikian pendapat Dr. Muhammad Salim Muhaisin sebagaimana ditulisnya dalam kitab “Fii Rihaabil Qur’aan”. Jika demikian halnya, bilakah suatu qira’at itu dikatakan qira’at syadzdzah? Dengan mengetahui sejarah Al-Qur’an, kita mengetahui bahwa Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dalam tempo lebih kurang 23 tahun. Jibril melakukan pemeriksaan/ pengecekan kembali bacaan Al-Qur’an pada Nabi Muhammad Saw., setiap tahun sekali dan pada tahun Rasulullah Saw., wafat, pemeriksaan itu dilakukan sebanyak dua kali. Dalam pemeriksaan terakhir ini, sebagian qira’at Al-Qur’an dinasahkan. Dengan demikian, setiap qira’at yang telah dinasakhan dalam pemeriksaan terakhir ini, dianggap qira’at syadzdzah. Itulah kriteria-kriteria yang ditentukan dalam dhabit bagi qira’at yang shahih. Apabila ketiga kriteria ini telah dipenuhi, yaitu: sesuai dengan bahasa Arab, sesuai dengan rasm mushaf dan shahih sanadnya, maka qira’at tersebut adalah qira’at yang shahih. Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau bathil. D. Contoh Qira’at Syadzdzah 1. Dalam surah Al-Baqarah: •               ••          102. dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut,.. (Surah Al-Baqarah:102) Adl-Dlahhaak bin Mazaahim membaca اْ لمَلَكَيْنِ dengan mengkasrahkan huruf lam yaituلمَلِكَيْنِ اْ yang maksudnya adalah dua orang raja yaitu Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman. Qira’at ini syadzdzah karena tidak mutawatir, sedangkan kemutawatiran qira’at termasuk rukun yang terpenting untuk dapat diterimanya suatu qira’at.      •      237. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan. Abu Musa Al-Asy’ary membaca تَنْسَوْ ا dengan bentuk mufaa’alah (saling timbal balik) yaitu تَنَا سُو ا yang artinya saling melupakan. Qira’at ini syadzdzah karena tidak mutawatir dan tidak sesuai dengan rasm Utsmani.                •       106. ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (Surah Al-Baqarah: 106) Abdul Aswad Ad-Duwali membaca اَ وْ نُنْسهَا dengaاَ وْ تَنْسَهَا yang artinya “ia melupakannya” dan faa’il (subjek) di sini adalah dhamir (kata ganti orang secara tersirat) yaitu Nabi Muhammad SAW. 2. Surah An-Nisa:                • ... Artinya: ...jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta..... (Surah An-Nisaa:12) Sa’ad bin Abi Waqash membaca ayat di atas dengan menambah lafazhمِنْ اُ مِّهِ setelah kalimat اَ خٌ ا وْ ا خْتٌ Qira’at ini syadzdzah karena tidak mutawatir dan tidak sesuai dengan rasm Utsmani. 3. Dalam surah Al-Maidah:                        .... 89. Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Ibnu Mas’ud membaca ayat di atas dengan menambahkan lafazh مُتَتَا بِعَا تٍ setelah lafazاَ يّا مٍ qira’at ini syadzdzah karena tidak mutawatir dan menyalahi rasm Utsmani. 4. Dalam surah Al-A’raf:   • •        •         35. Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu Rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, Maka Barangsiapa yang bertakwa dan Mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Ubay bin Ka’ab membaca ayat di atas dengan يَا تِيْنَكُمdengan alasan bahwa faa’ilnya adalah رُ سُلُ yaitu dalam bentuk jamak taksir (jamak tak beraturan) dan oleh sebab itu fi’ilnya boleh berbentuk mudzakkar maupun muannas. Qira’at ini syadzdzah karena tidak mutawatir. 5. Dalam surah Al-Kahfi   •  •    79...dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. (Sura Al-kahfi:79) Ibnu Syanbudz membaca karena tidak mutawatir dan juga menyalahi rasm Utsmani. صَا لحَةُ setelah laf سَفشيْنَةً Qira’at ini syadz karena tidak mutawatir dan juga menyalahi rasm Utsmani. 6. Dalam surah Al-Lail:      3. dan penciptaan laki-laki dan perempuan. (Surah Al-Lail:3) Ibnu Mas’ud dan Abud Dardaa’ membaca satu ayat di atas hanya dengan , و dan menghapus kalimat وَ مَا خَلَقِ Qira’at syadzdzah karena tidak mutawatir dan juga menyalahi rasm Utsmani. E. Hukum Mengamalkan Qira’at Syadzdzah Mengamalkan qira’at syadzdah dan menjadikannya sebagai dasar dalam menetapkan hukum syara’, menurut Jumhur Ulama hukumnya tidak boleh, karena qira’at syadzdah sama kedudukannya dengan hadits Ahad (setingkat di bawah derajat mutawatir). Sebahagian ulama menjadikan qira’at syadzdzah sebagai dasar hukum dalam banyak hal, seperti: 1. Memotong tangan kanan pencuri, berdasarkan kepada qira’at Ibnu Mas’ud pada surah Al-Maidah ayat 38 yang berbunyi:                Artinya:”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” 2. Madzhab Hanafi mewajibkan puasa tiga hari berturut-turut sebagai kaffrah sumpah. Juga berdasarkan kepada qira’at Ibnu Mas’ud pada srat Al-Maidah ayat 89 yang berbunyi:                                                    Artinya:”Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” Jumhur ulama madzhab Syafi’i tidak menjadikan qira’at di atas sebagai dasar hukum dalam kedua persoalan tersebut, sebab bagi mereka qira’at Ibnu Mas’ud di atas telah dinasakhkan. Demikianlah pendirian madzhab Syafi’i dalam masalah qira’at syadzdzah yang diikuti oleh Nashr Al-Qusyairi dan Ibnul Hajib. Pendirian mereka ini berdasarkan kepada pendapat bahwa qira’at syadzdzah tidak termasuk Al-Qur’an. Pendirisn dari mahzab Sayafi’i tersebut dibantah oleh Jumhur Ulama karena menurut Jumhur Ulama berpendapat ketika menolak qira’at syadzdzah sebagai Al-Qur’an, artinya tidak sekaligus menolak bahwa qira’at syadzdzah itu sebagai sebuah hadits walaupun terbilang sebagai hadits ahad. Telah diketahui juga bahwasannya hadits ahad berhukum boleh. Menurut Abu ‘Ubaid dalam kitab “Fadlaa-iul Qur’an”, tujuan sebenarnya dari qira’at syadzdzah adalah merupakan tafsir dari qira’at shahih (masyhur) dan penjelasan mengenai dirinya. Beliau mencontohkan diantaranya seperti: 1. Qira’at ‘Aisyah dan Hafshah pada surah Al-Baqarah ayat 238 yang berbunyi:          Artinya:”Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa[152]. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” 2. Qira’at Ibnu Mas’ud pada surat Al-Maidah ayat 38 yang berbunyi:                Artinya:”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” 3. Qira’at Jabir pada surah An-Nuur ayat 33 yang berbunyi:     •                     •                    •        Artinya:”Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.” Selanjutnya Abu ‘Ubaid menyatakan bahwa huruf-huruf tersebut harakatnya (lafazh qira’at syadzdzah tersebut) menjadi tafsir bagi ayat Al-Qur’an pada tempat tersebut. Hal yang demikian ini yaitu tafsir yang sama mengenai ayat-ayat tersebut. Hal yang demikian ini yaitu tafsir yang sama mengenai ayat-ayat tersebut, pernah dikemukakan oleh para tabi’in dan ini merupakan hal yang sangat baik. Maka jika penafsiran itu dikemukakan oleh sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw., yang besar, yang kemudian menjadi bagian dari pada qira’at Al-Qur’an itu sendiri, tentu tafsir ini lebih tinggi nilainya dan lebih kuat. Mengambil kesimpulan hukum dari penafsiran yang dikemukakan qira’at syadzdzah ini adalah suatu pengejawatahan yang dapat dipertanggungjawabkan. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari penjelasan pada bab sebelumnya penulis menyimpulkan bahwa qira’at syadzdzah adalah qira’at yang tidak memenuhi syara-syarat yang telah ditentukan untuk menjadi syarat suaut qira’at dikategorikan qira’at mutawatir dan shahih. Syarat-syarat tersebut, antara lain: 1. Sanadnya harus shahih, yaitu harus sampai kepada Rasulullah 2. Sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab 3. Sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani Adapun penyebab terjadiny qira’at syadzdzah ialah tidak memenuhi persyaratan seperti di atas. Ada sebagian ulama yang menjadikan qira’at syadzdah sebagai dasar hukum, seperti hukum memotong tangan kanan pencuri. Berdasarkan qira’at dari Ibnu Mas’ud pada surah Al-Maidah ayat 38:                Artinya:”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Menurut madzhab Imam Syafi’i, diikuti oleh Nashr Al-Qusyairi bahwa qira’at Ibnu Mas’ud di atas telah dinasakhkan dan qira’at syadzdah bukanlah termasuk Al-Qur’an. Akan tetapi pendapat ini dibantah oleh Jumhur Ulama yang berpendapat jika demikian qira’at syadzdah bukan Al-Qur’an, bukan berartijuga menolak qira’at sebagai hadits. Dalam hal tersebut terlihat perbedaan antara ulama mengenai penggunaan qira’at syadzdah sebagai sumber hukum. Contoh qira’at syadz ialah:      •      237. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan. Abu Musa Al-Asy’ary membaca تنسو ا dengan bentuk mufaa’alah (saling timbal balik) yaitu تنا سو ا yang artinya saling melupakan. Qira’at ini syadzdzah karena tidak mutawatir dan tidak sesuai dengan rasm Utsmani. B. Saran Dari pembahasan yang telah didipaparkan sebelumnya saran untuk saya sendiri dan juga untuk pembaca, sekiranya kita lebih memperhatikan suatu qira’at yang memenuhi ketentuan-ketentuan qira’at shahih, karena apabila suatu qira’at tidak memenuhi salah satu darinya akan tergolong qira’at syadzdah. Seperti yang telah dijelaskan bahwa tidak dibolehkan menggunakan qira’at syadzdah di dalam maupun di luar shalat. Artinya apabila kita menggunakan qira’at syadzdah dalam shalat, dampaknya shalat kita tidak sah. Tulisan ini belumlah sempurna karena masih memiliki kekurangan baik dalam segi metodologi penulisan, isi dan lain-lain. Sehingga penulis membutuhkan saran baik kepada dosen pengampu dan kepada pembaca agar untuk selanjutnya bisa menulis dengan tulisan yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Almunadi. Ulumul Quran 1. 2012. Palembang: Grafika Telindo Press Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Mabaahitsu fi ‘Ulumi al-Qur’an. terj. Aunur Rafiq El-Mazni. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’a. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006 Anshory. Ulumul Quran. 2013. Jakarta:PT Grasindo Persada Anwar, Rosihon. Ulum Al-Qur’an. 2007. Bandung: Cv. Pustaka Setia Ash Shabuny, Mohammad Aly. Pengantar Study Al-Qur’an (At-Tibyan). 1994. Bandung: Alma’arif Astut, Mardiah. Pengantar Ulumul Qur’an. 2012. Palembang: Tunas Gemilang Press Halimatussa’diyah, Ulumul Quran, 2006, (Palembang), Hamdan, Basyaruddin. dkk. Ulum Al-Qur’an. 2002. Palembang Ismail, Sya’bah Muhammad. Mengenal Qiraat Al-Qur’an 1993.Semarang: Dina Utama Semarang Maragustam Siregar, Madzhab Qira'at Alour'an dan Implikasinyadalam Pendidikan Pemanusiaan, Kependidikan Islam, Vol 2. No. 1, 2004 Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. 2010. Jakarta: PT Mahmud Yunus Yusuf, Kadar M.. Studi Al-Qur’an. 2009. Jakarta: Amzah .