Sabtu, 30 Mei 2015

Qira'at Syadzdzah

KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur hanya miliki Allah SWT. Syukur akan segala nikmat yang tidak bertepi dan berharap tetap bersyukur hingga tidak berpenghujung. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Kekasih Allah, Rasulullah Saw., yang telah membawa cahaya Islam sehingga sekarang kita bisa menikmati cahaya yang telah dibawa Beliau, serta untuk para sahabat, keluarga dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Terima kasih untuk kedua orang tua yang senantiasa menyelipkan doa dan dukungannya, begitu pula teruntuk dosen pengampuh dalam mata kuliah Ilmu Qira’at Al-Qur’an Ibu Sri Aliyah M.Pd.I yang telah memberikan bimbingannya. Tulisan ini memiliki tema tentang Qira’at Syadzdzah. Qira’at tersebut termasuk dalam lingkup macam-macam qira’at. Ilmu Qira’at Al-Qur’an juga merupakan ilmu yang terdapat dalam ulumul Al-Qur’an. Tulisan ini belumlah sempurna, untuk menyempurkannya penulis mengharapkan kritik dan saran yang kiranya dapat membangun sehingga untuk selanjutnya menjadi lebih baik. Penulis berharap tulisan ini bermanfaat bagi pembaca maupun yang membutuhkannya. Palembang, 21 April 2015 Desy Aryani DAFTAR ISI Kata Pengantar 1 Daftar Isi ..2 BAB I PENDAHULUAN 3 A. Latar Belakang 3 B. Rumusan Masalah 4 BAB II PEMBAHASAN 5 A. Pengertian Qira’at Syadzdzah 5 B. Macam-Macam Qira’at Syadzdzah 8 C. Sebab-Sebab Kesyadzdzahan 9 D. Contoh Qira’at Syadzdzah 12 BAB III PENUTUP 20 A. Kesimpulan 20 B. Saran 21 Daftar Pustaka 22 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses kodifikasi Al-Qur'an pada masa khalifah Utsman berada pada titik kritis kemanusiaan sesama muslim karena terjadi saling menyalahkan antara aliran qira'at yang satu dengan aliran qira'at lainnya, bahkan di antara mereka hampir saling mengkafirkan. Daerah kekuasaan Islam pada khalifah Utsman telah meluas, orang-orang Islam telah terpencar di berbagai daerah sehingga mengakibatkan kurang lancarnya komunikasi intelektual di antara mereka. Menurut Ash-Shobuni bahwa Penduduk Syam membaca Al-Qur'an mengikuti qira'at Ubay bin Ka'ab, penduduk Kufah mengikuti qira'at Abdullah bin Mas'ud dan sebagian yang lain mengikuti qira'at Abu Musa al-Asy'ari. Di antara mereka terdapat perbedaan bunyi huruf dan bacaan. Karena kurang lancarnya komunikasi di antara para ahli qira’at, yang semula tujuan bervariasinya qira’at Al-Qur'an sebagai bentuk rahmat (kemudahan dan kelonggaran) bagi umat Islam, tapi justru menjadi semacam bencana kemanusiaan. Karena terjadi kerenggangan hubungan di antara mereka. Berkenaan dengan keadaan di atas, maka pada pertengahan kedua di abad I H, dan pertengahan awal di abad II H, para ahli qira'at terdorong untuk meneliti dan menyeleksi berbagai sistem qira'at Al-Qur'an yang berkembang pada saat itu. Misalnya, tujuh sistem qira'at Al-Qur'an yang berhasil dipopulerkan dan dilestarikan oleh mereka, dinilai sebagai tergolong mutawatir yang bersumber dari Nabi saw. Inilah yang dikenal dengan sebutan qlra'at sab'at(qira'attujuh). Qira’at tujuh adalah qira’at yang dihukum mutawatir karena periwayatannya sampai kepada Nabi saw. Akan tetapi tidak semua qira’at itu bersambung periwayatan dengan Nabi Saw., dan tidak semua qira’at dapat diterima untuk dijadikan hujjah dalam hukum ataupun digunakan di kehidupan sehari-hari. Diterimanya suatu qira’at itu mempunyai kriteria-kriteria yang harus terpenuhi. Oleh karena itu apabila salah satu atau semua kriteria tidak terpenuhi, qira’at tersebut tidak dapat diterima. Di sinilah penulis akan membahas sekitar pembahasan mengenai qira’at yang tidak diterima. Salah satunya adalah qira’at syadzdzah, yang akan dibahas pada bab selanjutnya. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana definisi dari qira’at syadzdzah? 2. Bagaimana sebab-sebab kesyadzdzahannya? 3. Contoh dari qira’at syadzdzah? BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Qira’at Syadzdzah Qira’at adalah jamak dari qira’ah, artinya bacaan. Ia adalah mashdar dari qara’ah. Dalam istilah keilmuan, qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan Al-Qur’an yang dipakai oleh seorang imam qurra’. Sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya. Qira’at merupakan masdar dari kata qara’a yang berarti membaca. Maka qira’ah secara harfiah berarti bacaan dan ilmu qira’at berarti ilmu tentang bacaan. Menurut istilah, seperti dua pendapat di bawah ini: 1. Menurut Az-Zarqani, ialah suatu madzhab yang dianut seorang imam qira’at yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun dalam pengucapan bentuk-bentuknya. 2. Menurut Imam Az-Zarkasyi, qira’at yaitu perbedaan lafal-lafal Al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif, tasydid dan lain-lain. Sedangkan kata شا ذ menurut kamus bahasa Arab artinya yang terasing. Kata شا ذ ataupun شذ و ذ adalah kata mashdar berasal dari fi'il madii شذ شذ- يشذ – شذ و ذ و شا ذ ا Dalam pemakaian bahasa Arab, kata syadzdzah artinya memisahkan diri, menyendiri atau jarang sekali. Seseorang dikatakan telah melakukan syadz, apabila ia menyendiri atau memisahkan diri dari kawan-kawannya. Jadi setiap sesuatu yang menyendiri disebut syadzdzah. Qira’at syadzdzah menurut istilah adalah setiap qira’at yang tidak memiliki rukun yang tiga yaitu mutawatir, sesuai dengan rasm mushaf Utsmani dan sesuai dengan kaidah tata bahasa Arab atau kurang salah satu dari padanya. Selain dari itu qira’at syadzdzah yaitu qira’at yang menyimpang karena sanadnya tidak shahih. Dari definisi yang telah dipaparkan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa qira’at syadzdzah ialah suatu bacaan yang berbeda dengan bacaan yang lain, dikarenakan tidak memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan. Misalnya bacaan tersebut tidak sesuai dengan mushaf Utsmani, tidak mutawatir, dan lain-lain. Orang yang pertama sekali menyelidiki macam-macam qira’at, menuliskan hasil penyelidikannya itu dan menyelidiki qira’at yang syadz serta membahas sanadnya adalah Harun bin Musa Abu Abdullah Al-A’war Al-Atki Al-Bashri Al-Azadi. Dan beliau yang bernama Shaduuq mempunyai qira’at yang dikenal dinisbahkan kepadanya, diriwayatkan dari ‘Ashim Al-Jahdari, Abdullah bin Katsir dan Abu ‘Amr bin Al-‘Allaa’ dan lain-lain. Harun bin Musa wafat pada tahun 198 H. Imam As-Suyuthy Pengarang kitab Al-Itqon menyebutkan macam-macam qira’at itu ada yang muttawatir, mashyur, syadz, ahad, maudhu’ dan mudarraj. Qadhi’ Jalaluddin Al-Bulqiiny mengatakan: Qira’at itu terbagi ke dalam: muttawatir, ahad dan syadz. Yang mutatawatir adalah qira’at tujuh yang mashyur. Yang ahad adalah qira’at yang tsalasa (tiga yang menjadi pelengkap qira’ah sepuluh (qira’ah ‘asyrah), yang kesemuanya dipersamakan dengan qira’at para sahabat. Adapun qira’at yang syadz ialah qira’ah para tabi’in seperti qira’ah A’masy, Yahya ibnu Watsab, Ibnu Jubair dan lain-lain. Imam As-Suyuthy mengatakan bahwa kata-kata di atas perlu ditinjau kembali. Yang pantas untuk berbicara dalam bidang qira’at adalah qurra’ pada masanya yang bernama Syaikh Abu Al-Khair ibnu Al-Jazary dimana beliau mengatakan dalam muqaddimah kitabnya An-Nasyr: “semua qira’at yang sesuai dengan bacaan Arab walau hanya satu segi saja sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani walaupun hanya sekedar mendekati serta sanadnya benar maka qira’at tersebut adalah shahih (benar), yang tidak ditolak dan haram menentangnya, bahkan itu termasuk dalam bagian “huruf yang tujuh” dimana Al-Qur’an diturunkan. Wajib bagi semua orang untuk menerimanya baik timbul dari imam yang tujuh maupun dari yang sepuluh atau lainnya yang bisa diterima. Apabila salah satu persyaratan yang tiga tersebut di atas tidak terpenuhi maka qira’at itu dikatakan qira’at syadz atau bathil, baik datangnya dari imam yang tujuh maupun dari tokoh yang lebih ternama lagi. Inilah pendapat yang benar menurut para muhaqqiq baik dari kalangan salaf maupun khalaf. Abu ‘Amr bin Abdil Bar meriwayatkan bahwa kaum muslimin telah ijma’ bahwa tidak boleh membaca Al-Qur’an dengan qira’at syadzdzah dan tidak sah shalat mengikuti seorang imam yang menggunakan qira’at syadzdzah dalam shalatnya. Adapun hukum qiraah syadzdzah: 1. Haram dipakai dan tidak sah shalat yang menggunakan qira’at ini, karena ia bukan termasuk bagian dari bacaan Al-Qur’an. Seperti qira’at Ibnu As-Sufa’ ifi: Falyawma nunajjika bibadanuka litakunaliman kholafaka ayah. Dengan menfathakan huruf lam pada kata kholafaka. Qira’at ini tidak dijadikan pegangan dalam bacaan dan bukan termasuk Al-Qur’an. 2. Sebagian besar fuqaha, termasuk Imam Syafi’i, berpendapat tidak boleh berhujjah dengan qira’at syadzdzah, karena ia tidak termasuk model bacaan Al-Qur’an. Tapi menurut mahzab Hanafi dibolehkan berhujjah dengan qira’at ini dalam masalah hukum, karena qira’at syadzdzah termasuk bagian dari tafsir. 3. Berhujjah dalam masalah bahasa dibolehkan dengan menggunakan qira’at ini. Nawawi, Di dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab menjelaskan bahwa qira’at syadzdzah (aneh) tidak boleh dibaca di dalam dan di luar shalat, karena qira’at itu bukan Al-Qur’an, Al-Qur’an hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedangkan qira’at yang menyimpang tidak sesuai dengan isnad yang mutawatir. Bila ada yang menyalahi ketentuan dan membaca qira’at yang menyimpang di dalam shalat atau lainnya, maka qira’at itu tidak dapat dibenarkan. Para ulama Fiqh di Baghdad menuntut supaya si pembaca qira’at yang menyimpang supaya bertobat Orang yang membaca Al-Qur’an dengan qira’at yang menyimpang tidak boleh mengimami shalat. B. Macam-Macam Qira’at Syadzdah Bila melihat dari pengertian qira’at syadzdah di atas, maka qira’at-qira’at yang tidak memenuhi syarat sahnya suatu qira’at dapat dibagi menjadi empat bagian: 1. Qira’at Ahad, yaitu qira’at yang sanadnya shahih namun menyalahi rasm Utsmani dan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Contoh, qira’at Ibnu Muhaisin salah satu imam qira’at dari empat imam qira’at lainnya, qira’at yang dimaksud adalah surah Ar-Rahman ayat 76:        Qira’at macam ini tidak boleh dinyatakan dan wajib di I’tiqadkan sebagai Al-Qur’an. 2. Qira’at Syadz, adalah bacaan atau qira’at yang sanadnya tidak shahih, Qira’at ini juga tidak boleh dinyatakan dan tidak wajib di’ Itoqadkan sebagai Al-Qur’an. 3. Qira’at maudhu’ adalah bacaan yang tidak ada sumbernya sama sekali atau qira’at palsu. Dalam uraian ini kata palsu dikaitkan dengan kata qira’at karena ada yang mengatakan qira’at. 4. Qira’at mudrajah adalah bacaan atau qira’at yang dalam bacaan itu diselipkan tafsiran dari ayat yang bersangkutan seperti qira’at Sa’ad bin Abi Waqash dengan menambah kata مِنْ مُسْلِمْ pada ayat 12 surat An-Nisa’. C. Sebab-Sebab Kesyadzdzahan Suatu Qira’at Setiap ada akibat tentunya ada sebab yang mempengaruhinya. Begitulah dengan qira’at syadz ini. Suatu qira’at dapat digolongkan qira’at yang syadz, apabila tidak memenuhi beberapa kriteria. Seperti berikut ini: 1. Kesesuaian qira’at tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi, baik segi fasih sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan pada ra’yu (penalaran). 2. Qira’at sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani, meskipun hanya sekedar mendekati saja. Sebab dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara penulisan mushaf) sesuai dengan macam-macam dialek qira’at yang mereka ketahui. Misalnya, mereka menuliskan ا لصر ا ط dalam ayat ا هد نا ا لصر ا ط ا لمستقين dengan sad sebagai pengganti dari sin. Mereka tidak menuliskan sin yang merupakan asal ini agar lafadz teersebut dapat pula dibaca dengan sin yakni ا لسر اط . Meskipun demikian dalam satu segi berbeda dengan rasm, namun qira’at yang sin pun tersebut yang dikenal, sehingga kedua bacaan itu dianggap sebanding. Dan bacaan isymam untuk itu pun dikemungkinkan pula. Yang dengan sesuai yang hanya sekedar mendekati saja (muwafaqah ihtimaliyah), adalah, seperti contoh di atas. 3. Qira’at itu harus shahih sanadnya, sebab qira’at merupakan sunnah yang diikuti yang didasarkan pada keselamatan penukilan dan keshahihan riwayat. Sering kali ahli bahasa Arab mengingkari sesuatu qira’at hanya karena qira’at itu tidak sejalan dengan aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qira’at tidak menanggung beban apapun atas keingkaran mereka itu. Ibnul Jazari ketika memberikan komentar terhadap syarat pertama kaidah qira’at yang shahih ini menegaskan, “Kata-kata dalam kaidah di atas meskipun hanya dalam satu segi, yang kami maksudkan adalah satu segi dari ilmu nahwu, baik segi itu fasih maupun lebih fasih, disepakati maupun diperselisihkan. Sedikit berlawanan dengan kaidah nahwu tidak mengurangi keshahihan suatu qira’at jika qira’at tersebut telah popular dan telah diterima oleh para imam berdasarkan isnad yang shahih, sebab syarat terakhir inilah yang menjadi syarat terpenting dan utama. Berapa banyak qira’at yang diingkari oleh ahli nahwu, tetapi mereka tidak banyak mendapatkan respon, seperti mensukunkan (با ر كم ) dan (يا مر كم ) mengkhafadhkan (ا لا ر حا م ), menashabkan ( ليجز ي قو ما ), dan memisahkan antara mudhaf dengan mudhaf ilaih, seperti dalam ayat, (قتل ا و لا د هم شر كا ءهم) dan sebagainya. Abu Amru Ad-Dani berkata, “Para imam qira’at tidak mengubah sedikit pun huruf-huruf Al-Qur’an menurut aturan yang paling popular dalam dunia kebahasaan yang paling sesuai dengan kaidah bahasa Arab, tetapi menurut yang paling tegas dan shahih dalam riwayat dan penukilan. Karena itu bila riwayat itu jelas dan pasti, maka aturan kebahasaan dan popularitas bahasa tidak bisa menolak dan mengingkarinya. Sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti dan wajib diterima seutuhnya serta dijadikan sumber acuan. “Menurut Zaid bin Tsabit, “Qira’at adalah sunnah yang harus diikuti”. Menurut Al-Baihaqi, maksud perkataan tersebut ialah mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal qira’at Al-Qur’an, sebab itu merupakan sunnah atau tradisi yang harus diikuti, tidak boleh menyalahi mushaf yang merupakan imam, tidak pula menayalahi qira’at yang mashyur meskipun tidak berlaku dalam bahasa Arab. Ibnu Al-Jazari Pengarang kitab Ath-Thayyibah dalam memberikan batas diterimanya qira’ah mengatakan: Setiap bacaan yang sesuai dengan nahwu Mirip dengan tulisan mushaf Utsmani Benar sanadnya itulah bacaan Ketiga sendi ini Bila rusak salah satunya Menyatakan itu cacat Meski dari qira’at sab’ah datangnya. Jika diperhatikan ketiga rukun qira’at shahih tersebut, maka dapat diketahui bahwa qira’at syadzdzah baru mulai muncul pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, seperti yang telah dipaparkan pada bab pendahuluan. Ketika Al-Qur’an telah dikondifikasi dan adanya perintah untuk membakar semua tulisan Al-Qur’an yang dibentuk Utsman bin Affan. Peristiwa ini yang membedakan dan menentukan antara qira’at yang shahih dan qira’at yang syadzdzah. Oleh sebab itu, persesuaian antara suatu qira’at dengan rasm Utsmani merupakan salah satu syarat shahihnya qira’at tersebut. Dr. Muhammad Salim Muhaisin berpendapat bahwa batas yang membedakan dan menentukan antara qira’at shahih dan sqira’at syadzdzah adalah pemeriksaan Jibril yang terakhir terhadap qira’at Al-Qur’an Nabi Muhammad Saw., pada tahun wafatnya Beliau. Demikian pendapat Dr. Muhammad Salim Muhaisin sebagaimana ditulisnya dalam kitab “Fii Rihaabil Qur’aan”. Jika demikian halnya, bilakah suatu qira’at itu dikatakan qira’at syadzdzah? Dengan mengetahui sejarah Al-Qur’an, kita mengetahui bahwa Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dalam tempo lebih kurang 23 tahun. Jibril melakukan pemeriksaan/ pengecekan kembali bacaan Al-Qur’an pada Nabi Muhammad Saw., setiap tahun sekali dan pada tahun Rasulullah Saw., wafat, pemeriksaan itu dilakukan sebanyak dua kali. Dalam pemeriksaan terakhir ini, sebagian qira’at Al-Qur’an dinasahkan. Dengan demikian, setiap qira’at yang telah dinasakhan dalam pemeriksaan terakhir ini, dianggap qira’at syadzdzah. Itulah kriteria-kriteria yang ditentukan dalam dhabit bagi qira’at yang shahih. Apabila ketiga kriteria ini telah dipenuhi, yaitu: sesuai dengan bahasa Arab, sesuai dengan rasm mushaf dan shahih sanadnya, maka qira’at tersebut adalah qira’at yang shahih. Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau bathil. D. Contoh Qira’at Syadzdzah 1. Dalam surah Al-Baqarah: •               ••          102. dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut,.. (Surah Al-Baqarah:102) Adl-Dlahhaak bin Mazaahim membaca اْ لمَلَكَيْنِ dengan mengkasrahkan huruf lam yaituلمَلِكَيْنِ اْ yang maksudnya adalah dua orang raja yaitu Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman. Qira’at ini syadzdzah karena tidak mutawatir, sedangkan kemutawatiran qira’at termasuk rukun yang terpenting untuk dapat diterimanya suatu qira’at.      •      237. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan. Abu Musa Al-Asy’ary membaca تَنْسَوْ ا dengan bentuk mufaa’alah (saling timbal balik) yaitu تَنَا سُو ا yang artinya saling melupakan. Qira’at ini syadzdzah karena tidak mutawatir dan tidak sesuai dengan rasm Utsmani.                •       106. ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (Surah Al-Baqarah: 106) Abdul Aswad Ad-Duwali membaca اَ وْ نُنْسهَا dengaاَ وْ تَنْسَهَا yang artinya “ia melupakannya” dan faa’il (subjek) di sini adalah dhamir (kata ganti orang secara tersirat) yaitu Nabi Muhammad SAW. 2. Surah An-Nisa:                • ... Artinya: ...jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta..... (Surah An-Nisaa:12) Sa’ad bin Abi Waqash membaca ayat di atas dengan menambah lafazhمِنْ اُ مِّهِ setelah kalimat اَ خٌ ا وْ ا خْتٌ Qira’at ini syadzdzah karena tidak mutawatir dan tidak sesuai dengan rasm Utsmani. 3. Dalam surah Al-Maidah:                        .... 89. Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Ibnu Mas’ud membaca ayat di atas dengan menambahkan lafazh مُتَتَا بِعَا تٍ setelah lafazاَ يّا مٍ qira’at ini syadzdzah karena tidak mutawatir dan menyalahi rasm Utsmani. 4. Dalam surah Al-A’raf:   • •        •         35. Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu Rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, Maka Barangsiapa yang bertakwa dan Mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Ubay bin Ka’ab membaca ayat di atas dengan يَا تِيْنَكُمdengan alasan bahwa faa’ilnya adalah رُ سُلُ yaitu dalam bentuk jamak taksir (jamak tak beraturan) dan oleh sebab itu fi’ilnya boleh berbentuk mudzakkar maupun muannas. Qira’at ini syadzdzah karena tidak mutawatir. 5. Dalam surah Al-Kahfi   •  •    79...dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. (Sura Al-kahfi:79) Ibnu Syanbudz membaca karena tidak mutawatir dan juga menyalahi rasm Utsmani. صَا لحَةُ setelah laf سَفشيْنَةً Qira’at ini syadz karena tidak mutawatir dan juga menyalahi rasm Utsmani. 6. Dalam surah Al-Lail:      3. dan penciptaan laki-laki dan perempuan. (Surah Al-Lail:3) Ibnu Mas’ud dan Abud Dardaa’ membaca satu ayat di atas hanya dengan , و dan menghapus kalimat وَ مَا خَلَقِ Qira’at syadzdzah karena tidak mutawatir dan juga menyalahi rasm Utsmani. E. Hukum Mengamalkan Qira’at Syadzdzah Mengamalkan qira’at syadzdah dan menjadikannya sebagai dasar dalam menetapkan hukum syara’, menurut Jumhur Ulama hukumnya tidak boleh, karena qira’at syadzdah sama kedudukannya dengan hadits Ahad (setingkat di bawah derajat mutawatir). Sebahagian ulama menjadikan qira’at syadzdzah sebagai dasar hukum dalam banyak hal, seperti: 1. Memotong tangan kanan pencuri, berdasarkan kepada qira’at Ibnu Mas’ud pada surah Al-Maidah ayat 38 yang berbunyi:                Artinya:”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” 2. Madzhab Hanafi mewajibkan puasa tiga hari berturut-turut sebagai kaffrah sumpah. Juga berdasarkan kepada qira’at Ibnu Mas’ud pada srat Al-Maidah ayat 89 yang berbunyi:                                                    Artinya:”Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” Jumhur ulama madzhab Syafi’i tidak menjadikan qira’at di atas sebagai dasar hukum dalam kedua persoalan tersebut, sebab bagi mereka qira’at Ibnu Mas’ud di atas telah dinasakhkan. Demikianlah pendirian madzhab Syafi’i dalam masalah qira’at syadzdzah yang diikuti oleh Nashr Al-Qusyairi dan Ibnul Hajib. Pendirian mereka ini berdasarkan kepada pendapat bahwa qira’at syadzdzah tidak termasuk Al-Qur’an. Pendirisn dari mahzab Sayafi’i tersebut dibantah oleh Jumhur Ulama karena menurut Jumhur Ulama berpendapat ketika menolak qira’at syadzdzah sebagai Al-Qur’an, artinya tidak sekaligus menolak bahwa qira’at syadzdzah itu sebagai sebuah hadits walaupun terbilang sebagai hadits ahad. Telah diketahui juga bahwasannya hadits ahad berhukum boleh. Menurut Abu ‘Ubaid dalam kitab “Fadlaa-iul Qur’an”, tujuan sebenarnya dari qira’at syadzdzah adalah merupakan tafsir dari qira’at shahih (masyhur) dan penjelasan mengenai dirinya. Beliau mencontohkan diantaranya seperti: 1. Qira’at ‘Aisyah dan Hafshah pada surah Al-Baqarah ayat 238 yang berbunyi:          Artinya:”Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa[152]. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” 2. Qira’at Ibnu Mas’ud pada surat Al-Maidah ayat 38 yang berbunyi:                Artinya:”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” 3. Qira’at Jabir pada surah An-Nuur ayat 33 yang berbunyi:     •                     •                    •        Artinya:”Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.” Selanjutnya Abu ‘Ubaid menyatakan bahwa huruf-huruf tersebut harakatnya (lafazh qira’at syadzdzah tersebut) menjadi tafsir bagi ayat Al-Qur’an pada tempat tersebut. Hal yang demikian ini yaitu tafsir yang sama mengenai ayat-ayat tersebut. Hal yang demikian ini yaitu tafsir yang sama mengenai ayat-ayat tersebut, pernah dikemukakan oleh para tabi’in dan ini merupakan hal yang sangat baik. Maka jika penafsiran itu dikemukakan oleh sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw., yang besar, yang kemudian menjadi bagian dari pada qira’at Al-Qur’an itu sendiri, tentu tafsir ini lebih tinggi nilainya dan lebih kuat. Mengambil kesimpulan hukum dari penafsiran yang dikemukakan qira’at syadzdzah ini adalah suatu pengejawatahan yang dapat dipertanggungjawabkan. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari penjelasan pada bab sebelumnya penulis menyimpulkan bahwa qira’at syadzdzah adalah qira’at yang tidak memenuhi syara-syarat yang telah ditentukan untuk menjadi syarat suaut qira’at dikategorikan qira’at mutawatir dan shahih. Syarat-syarat tersebut, antara lain: 1. Sanadnya harus shahih, yaitu harus sampai kepada Rasulullah 2. Sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab 3. Sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani Adapun penyebab terjadiny qira’at syadzdzah ialah tidak memenuhi persyaratan seperti di atas. Ada sebagian ulama yang menjadikan qira’at syadzdah sebagai dasar hukum, seperti hukum memotong tangan kanan pencuri. Berdasarkan qira’at dari Ibnu Mas’ud pada surah Al-Maidah ayat 38:                Artinya:”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Menurut madzhab Imam Syafi’i, diikuti oleh Nashr Al-Qusyairi bahwa qira’at Ibnu Mas’ud di atas telah dinasakhkan dan qira’at syadzdah bukanlah termasuk Al-Qur’an. Akan tetapi pendapat ini dibantah oleh Jumhur Ulama yang berpendapat jika demikian qira’at syadzdah bukan Al-Qur’an, bukan berartijuga menolak qira’at sebagai hadits. Dalam hal tersebut terlihat perbedaan antara ulama mengenai penggunaan qira’at syadzdah sebagai sumber hukum. Contoh qira’at syadz ialah:      •      237. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan. Abu Musa Al-Asy’ary membaca تنسو ا dengan bentuk mufaa’alah (saling timbal balik) yaitu تنا سو ا yang artinya saling melupakan. Qira’at ini syadzdzah karena tidak mutawatir dan tidak sesuai dengan rasm Utsmani. B. Saran Dari pembahasan yang telah didipaparkan sebelumnya saran untuk saya sendiri dan juga untuk pembaca, sekiranya kita lebih memperhatikan suatu qira’at yang memenuhi ketentuan-ketentuan qira’at shahih, karena apabila suatu qira’at tidak memenuhi salah satu darinya akan tergolong qira’at syadzdah. Seperti yang telah dijelaskan bahwa tidak dibolehkan menggunakan qira’at syadzdah di dalam maupun di luar shalat. Artinya apabila kita menggunakan qira’at syadzdah dalam shalat, dampaknya shalat kita tidak sah. Tulisan ini belumlah sempurna karena masih memiliki kekurangan baik dalam segi metodologi penulisan, isi dan lain-lain. Sehingga penulis membutuhkan saran baik kepada dosen pengampu dan kepada pembaca agar untuk selanjutnya bisa menulis dengan tulisan yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Almunadi. Ulumul Quran 1. 2012. Palembang: Grafika Telindo Press Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Mabaahitsu fi ‘Ulumi al-Qur’an. terj. Aunur Rafiq El-Mazni. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’a. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006 Anshory. Ulumul Quran. 2013. Jakarta:PT Grasindo Persada Anwar, Rosihon. Ulum Al-Qur’an. 2007. Bandung: Cv. Pustaka Setia Ash Shabuny, Mohammad Aly. Pengantar Study Al-Qur’an (At-Tibyan). 1994. Bandung: Alma’arif Astut, Mardiah. Pengantar Ulumul Qur’an. 2012. Palembang: Tunas Gemilang Press Halimatussa’diyah, Ulumul Quran, 2006, (Palembang), Hamdan, Basyaruddin. dkk. Ulum Al-Qur’an. 2002. Palembang Ismail, Sya’bah Muhammad. Mengenal Qiraat Al-Qur’an 1993.Semarang: Dina Utama Semarang Maragustam Siregar, Madzhab Qira'at Alour'an dan Implikasinyadalam Pendidikan Pemanusiaan, Kependidikan Islam, Vol 2. No. 1, 2004 Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. 2010. Jakarta: PT Mahmud Yunus Yusuf, Kadar M.. Studi Al-Qur’an. 2009. Jakarta: Amzah .

1 komentar:

  1. The best casino site in Nigeria - LuckyClub
    The best casino site in Nigeria · 1. Situs Game Judi Slot Online, Joker123, Spadegaming, Habanero, Microgaming, PG Soft, Super Monkey, luckyclub.live Bwin

    BalasHapus