Minggu, 31 Mei 2015

Surah Al-Maidah ayat 100 (Komparatif tafsir Al-Misbah dan Al-Azhar)

PENDAHULUAN Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw., melalui malaikat jibril. Al-Qur’an meajadi pedoman bagi manusia yang mengimaninya dan juga menjadi peta kehidupan yang mengantarkan manusia menuju jalan yang lurus. Al-Qur’an mengandung kebenaran dan tidak ada kebatilan di dalamnya. teman yang paling baik, penenang hati, penghilang gundah dan penyirna gulana, penawar kesedihan,pencerah pikiran, penghilang keraguan dan rasa was-was, penguat keyakinan dan pengokoh keimanan. Dasar dari semua fungsi yang telah dipaparkan di atas, ialah Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk, seperti pada QS. Al-Baqarah ayat 2           Artinya: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” Pada ayat tersebut ditegaskan bahwa Al-Qur’an menjadi petunjuk untuk mereka yang bertaqwa. Kata mereka itu timbul sebuah pertanyaan siapa? Bagaimanakah orang yang tergolong taqwa dan arti taqwa itu tersendiri dalam Al-Qur’an. Dari pertanyaan yang timbul itulah, penulis berkeinginan untuk mengkaji satu ayat yang juga mengandung lafazh taqwa di dalamnya ialah pada surah Al-Maidah ayat 100. Pada kajian ini akan dikaji dengan menggunakan metode muqarin. Metode muqarin adalah metode yang mengemukakan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh sejumlah penafsir. Di sini seorang penafsir menghimpun jumlah ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian ia mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah penafsir mengenai ayat tersebut melalui kitab-kitab tafsir mereka, apakah tafsir mereka itu tafsir bi al-ma’tsurmaupun al-tafsir bi al-Ra’yi. Seorang peneliti juga membandingkan arah dan kecenderuangan masing-masing penafsir. Selanjutnya peneliti juga akan menjelaskan bahwa di antara para penafsir tersebut ada yang mempengaruhi penafsirannya. PEMBAHASAN PERBANDINGAN DALAM TAFSIR AL-AZHAR DAN AL-MISBAH PADA SURAH AL-MAIDAH AYAT 100 A. Biografi Singkat Prof. Hamka Hamka lahir di Sungai Batang Meninjau, Sumatra Barat pada tanggal 16 Februari 1908 M. Riwayat pendidikan pada usia 6 tahun di sekolah desa selama 3 tahun, pada tahun 1916-1927, diniyah school Padang Panjang. Gurunya Prof. Hamka ialah Syekh Ibrahim, Musa Parabel, Engko Mudu Abdul Hamid Hakim, Sultan Marajo, Syekh Zaiduddin Labay el-Yunung. Karya terbesar Hamka adalah Tafsir Al-Azhar juz 1-30, ditulis saat dipenjara kurang lebih selama 3,5 tahun. Metode tafsir Al-Azhar ialah penafsirannya Hamka memelihara sebaik mungkin antara Naql dan akal. Corak penafsiran Hamka dalam tafsir Al-Azhar menurut Nasaruddin Baidasi dalam buku perkembangan Tafsir di Indonesia, corak tafsirnya adalah corak al-adabi wa al-ijtimima’i (sosial kemasyarakatan). B. Biografi Singkat M. Quraish Shihab M. Quraish Shihab dilahirkan pada 16 Februari di kabupaten si dendeng Rampang, Sulawesi Selatan sekitar 190 Km dari kota Ujung Pandang. M. Quraish Shihab memulai pendidikan di Kampunghalamannya di Ujung Pandang, dan melanjutkan pendidikanmenengahnya di Malang tepatnya di Pondok Pesantren Dar al- Hadistal-Fiqhiyyah. Kemudian pada tahun 1958, dia berangkatke Kairo Mesir untuk meneruskan pendidikannya di al-Azhar danditerima di kelas II Tsanawiyyah. Selanjutnya pada Tahun 1967dia meraih gelar Lc. (S1) pada Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir Hadist Universitas Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkanpendidikanya di fakultas yang sama, sehingga tahun 1969 ia meraih gelar MA untuk spesialis Tafsir Alquran dengan judul al-I’jāz al-Tasyri’ li al-Qur’ān al-Karīm. Pada tahun 1980, M. Quraish Shihab. M. Quraish Shihab merupakan muffasir kotemporer yang produktif dalam menulis, sehingga ia memiliki karya-karya yang fantastis. Salah satu karyanya ialah Tafsir Al-Misbah. Jika kita cermati dengan seksama, tampak bahwa metode penafsiran M. Quraish Shihab menggunakan pendekatan al-ijtihad al-Hida’i. C. Kajian Tentang Taqwa Dalam Al-Qur’an kata taqwa terdapat 224 ayat dengan berbagai bentuk yang berbeda-beda tergantung konteks ayat yang ada, akan tetapi inti dari semua ayat itu bermuara pada beberapa pengertian, yaitu taqwa adalah orang yang beriman, taqwa adalah takut dan taqwa adalah beramal soleh. Ketiga pengertian tersebut terdapat dalam surat 2: 182, 3:15-16, 3: 133-134, 2: 224, 2:21, 2:282, 4:9, 2:187, 39: 24, 2:24, 26:16, 13:34, 3:28, 2:180. Diketahui bahwasannya taqwa di dalam Al-Qur’an banyak memiliki definisi dan ciri-cirinya Akan tetapi taqwa dalam QS. Al-Maidah ayat 100 mempunyai definisi tersendiri ialah taqwa dalam artian taat, patuh atau tunduk. Taat di sini ialah taat akan perintah dan larangan dari Allah, untuk mengetahui hal demikian bisa dilihat dari teks dan terjemahan dari QS. Al-Maidah dari ayat 99 sampai 101. Selain dari itu dapat juga disorot dari sebab turunnya ayat, misalnya sebab turunnya QS. Al-Maidah ayat 100-101. Surah Al-Maidah meruapakan salah satu surah yang turun ketika Rasulullah telah melakukan Hijrah. Diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan al-Baihaqi yang bersumber dari Ibnu Abbas.           •       Artinya: “ Katakanlah: "tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika Rasulullah Saw., menerangkan haramnya arak, berdirilah seorang Badwi dan berkata: “Saya pernah menjadi pedagang arak dan saya menjadi kaya-raya karenanya. Apakah kekayaanku ini bermanfaat apabila saya menggunakannya untuk taat kepada Allah?”. Nabi menjawab: “Sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali yang baik”. Maka turunlah ayat ini yang membenarkan ucapan Rasul-Nya. Diriwayatkan oleh al-Wahidi dan al-Ashbahani di dalam kitab at-Targhib yang bersumber dari Jabir.                •            Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” Diriwayatkan oleh Bukhari yang bersumber dari Annas bin Malik. Dalam riwayat ini dikemukakan bahwa orang-orang yang bertanya kepada Rasulullah Saw., dengan maksud memperolok-olokannya, ada yang bertanya: “Siapa bapak saya?”, dan ada pula yang bertanya:”Dimana ontoku yang hilang?”. Maka Allah menurunkan ayat ini, yang melarang orang mukmin bertanya hal yang bukan-bukan. Selain dari riwayat ini masih ada dua riwayat lainnya. Seperti, Diriwayatkan oleh Bukhari dari ibnu Abbas dan diriwayatakan oleh ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Abu Hurairah, Abu Umamah dan Ibnu Abbas. D. Perbandingan dalam Tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah pada surah Al-Maidah ayat 100 s          •       Artinya: “Katakanlah: "tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." Dalam kitab Tafsir Al-Misbah, ayat ini dapat dihubungkan denga ayat yang lalu dengan mengamati pesan yang lalu dan ayat ini. Ayat yang lalu mengandung pesan bahwa Rasul hanya menyampaikan, sedang menerima atau menolak terpulang kepada masing-masing. Kepada mereka diingatkan dalam hidup ini ada yang baik dan ada yang buruk. Ada tuntunan Allah, ada tuntunan setan dan rayuan nafsu. Jangan sampai kuantitas yang banyak dari keburukkan memperdaya kamu sehingga memilihnya dan meninggalkan yang baik yang kuantitasnya sedkit. Jangan juga menduga bahwa apa yang telah ditetapkan kadarnya oleh Allah dan RasulNya walau sedikit, jangan duga yang demikian itu akan lebih baik jika kalian menambahnya karena penambahan ketika itu telah menjadikannya buruk. Sedikit garam akan melezatkan makanan, sedang garam yang banyak merusak makanan bahkan membahayakan tubuh manusia. Sedangkan Prof. Hamka dalam tafsir Al-Azharnya mengatakan bahwa ayat ini untuk memperteguh lagi keterangan pada lafazd sebelumnya. Kalau Allah menyiksa sangatlah pedih siksaanNya. Yang disiksa adalah orang yang memilih jalan yang buruk dan kelakuan yang buruk, tetapi Allah pun Pengampun dan Penyayang yaitu pada orang-orang yang berjuang mengalahkan diri dari yang buruk dan memilih yang baik. Akal terdidik oleh petunjuk agama dapatlah membedakan buruk dan baik. Akal dapat menilai mana yang banyak mengandung malarat dan mafaat, mana yang haram dan mana yang halal, mana yang adil dan mana yang zalim, mana yang kebodohan dan mana ilmu pengetahuan, mana yang merusak dan mana yang memperbaiki dan mana yang talih dan mana yang shalih. Menurut pengamat peneliti dalam melihat penafsiran yang dilakukan oleh Hamka dan Quraish Shihab, tidak ada perbedaan yang signifikan menurut pandangan kedua mufasir di atas. Misalnya persamaan ada dalam hal mampu pesan yang tersirat pada ayat tersebut, untuk tidak terpedaya oleh hal yang buruk. Akan tetapi dalam hal meunasabahkan ayat kedua mufassir itu berbeda di mana Quraish Shihab hanya menghubungkan surah Al-Maidah ayat 100 dengan ayat 99. Sedangkan Hamka menghubungan ayat tersebut pada ayat 98. Tentu perbedaan ini memiliki dasar masing-masing dan dipengaruhi oleh corak dan metode masing-masing. PENUTUP Kesimpulan Dari pembahasan sebelumnya mengenai taqwa pada surah Al-Maidah ayat 100. Lafadz taqwa banyak ditemui dalam Al-Qur’an. Pengertian taqwa itu sendiri seperti yang telah dipaparkan sebelumnya ialah takut, beramal sholeh dan lain-lain, tetapi pada ayat ini jika disorot pada teks, terjemahan maupun sebab turunnya ayat tersebut, penulis berpendapat bahwa kata taqwa pada ayat ini bermakna taat. Taat akan perintah Allah dan RasulNya, yang juga dilandasi dengan pemikiran (akal). Untuk perbandingan di antara Quraish Shihab dan Hamka tidak memiliki perbedaan yang banyak, jika penulis melihat perbedaan terletak pada pemunasabahan ayat saja, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Misalnya metode dan corak penafsiran keduanya. Saran Penulis menyadari bahwa tulisan ini belumlah sempurna ataupun seperti apa yang diingnkan oleh Dosen Pengampuh. Sehingga penulis sendiri mohon maaf dan mohon kritik dan sarannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar